Logo Ngawi

Rabu, 15 Agustus 2012

CERPEN ISLAMI

SEMPAT MEMILIKI

Hamparan gedung-gedung mewah nan mencakar langit, gemerlap kerlap-kerlip lampu-lampu jalanan ibukota yang memperindah kota Jakarta, serta suara ricuh kendaraan bermotor yang tiada henti selalu menemaniku menghabiskan waktu istirahatku dimalam hari, setelah kesibukanku sebagai mahasiswa disalah satu Universitas ternama di Jakarta.
“Mengapa kita bertemu …………. Bila akhirnya dipisahkan……………”
Terdengar suara nada dering mp3 “Sempat Memiliki” yang pernah dibawakan grup band kesayanganku “Yovie n’ Nuno”. Segera kuambil handphoneku yang bermerkan “I Phone 35 S” diatas meja belajarku. Terlihat dilayarnya terdapat 12 digit nomer yang berbeda. Kupencet salah satu tombol dan ketiga tombol yang berada dibawah layar touchscreen.
“Assalamu’alaikum ya ukhti...” Terdengar suara seorang laki-laki mengucapkan salam.
“Wa’alaikumsalam ya akhi.. . Tumben telfon, ada apa?”
“Ukhti.. . Maaf sebelumnya, jadwal keberangkatan pesawat akhi maju. Nanti sore jam 5 akbi terbang menuju Mesir” ucapnya.
“Tapi akhi, bukankah harusnya 3 hari lagi?”
“Iya... Tapi jadwalnya memang diajukan.”
“Ya sudah akhi, nanti sore ukhti coba ke rumah akhi.”
“Sekali lagi maaf. . . Wassalamu’alaikum...”
“Wa’alaikumsalam”

Pukul 15.00
“Tok. .tok. .tok...” terdengar suara ketukan pintu dan arah pintu utama.
“Iya ada apa?” Tanyaku sambil membukakan pintu.
“Afif ? tumben kamu kesini? Tanyaku lagi.
“Em... iya maaf..Kamu nggak ke rumah Arif?”
“Rencananya sih sekarang. ehm... Kamu tunggu dulu diruang tamu. .. ayo masuk” ajakku.
Setelah aku mempersiapkan semuanya, aku dan Afif pergi ke rumah Arif. “Ayo... “ajak
Afif. Kulangkahkan kakiku keluar rumah. Lalu kumasuki sebuah mobil mercy warna silver berplat nomor B 2013 AS milikku.

Sampainya disana...
“Tok. .tok. .tok...” kuketuk pintu rumahnya dan muncullah seorang perempuan.
“Assalamu’alaikum mb.. . Arifiiya ada?” Tanya Afif.
“Eh mb Afif, mb Syifa. .. Wa’alaikumsalam. . . Den Arif ada kok. .masuk.”
“Terima kasih mb...” Akhirnya kami masuk ke rumah Arif dan duduk di ruang tamu. Tak lama kemudian, Arif keluar dan menghampiri kami.
“Syifa, Afif. . . Terima kasih kalian mau kesini.
“Sama-sama” jawab Afif. Tanpa terasa aku meneteskan air mata. dan. . “Syifa kamu kenapa?” Tanya Afif.
“Gak papa kok...” Jawabku sambil mengucap air mataku.”
“Jangan bohong. . . kamu gak rela aku pergi?” Tanya Arif.
“Bukannya begitu, tapi...”
“Udahlah.. . Maafin aku ya...” Pintanya.
“Ya. . . Em.. . Afif kamu bisa ninggalin kita gak. . . Bentar aja.”
“Ya. .. aku makiumi kok duluan ya... Assalamu’alaikum...” Ucapnya sambil membuka pintu dan keluar dan rumah Arif.
“Ukhti. . . Maaf. . . Em... k1 boleh tahu, ukhti kenapa gak ke Pondok Pesantren lagi? Malah, kuliah disini?” Tanyanya membuka percakapan. Aku tak menjawab pertanyaanya, tetapi aku hanya diam dan menggeleng-gelengkan kepala, tak jarang kuusap air mataku yang sesekali jatuh ke pipiku.
“Ya udah... diam donk... aku gak lama, hanya 2 tahun. Klo mau aku sih, selama aku di Mesir, kamu balik ke Pondok aja, biar kamu gak terlalu mikirin aku” Pintanya.
“Semua demi kamu. . . kamu tahu kenapa aku pulang ke Jakarta, padahal aku udah betah banget, pulang aja 1 tahun sekali, itu aja klo terpaksa. Tapi kemarin aku putusin tuk bohong demi kamu...” Ucapku dengan nada terbata-bata...
“Ya udah. .. yang penting kamu ikhlas aku pergi.
Percaya setelah studyku selesai aku langsung nikahin kamu. Pacaran 2 tahun bukan waktu yang singkat. Aku sayang banget ma kamu...” Ucapnya sambil memegang tanganku.
Tak terasa jam menunjuk ke arah angka 4. Aku dan Afif pun mengantarkan Arif hingga bandara.
“Aku pergi dulu ukhti. Sabar ya... ,Afif aku titip Syifa. Klo ada apa-apa...” Belum selesai Arif bicara, perkataannya lantas diputus oleh Afif.
“Insyaallah... Sorry klo gak bisa sempurna. Khan yang penting Syifa gak napa-napa Ok?”
Memang Afif adalah sahabat setiaku, sejak di Pondok 7 tahun lalu. Diapun rela hijrah ke Jakarta demi aku, padahal rumahnya Batam. Diapun juga suka bercanda. Aku senang sekali bisa punya sahabat seperti dia dan boyfriend seperti Arif.
Setelah kepergian Arif ke Mesir, aku lantas melanjutkan kuliahku tetap di Jakarta. Walaupun tidak di Pondok, tapi aku tetap akan setia menunggu Arif.
2 Tahun Kemudian ………..
“Assalamu’alaikum...” sapa seorang lelaki dari depan pintu.
“Wa’alaikumsalam.... Arif “ Teriakku tak percaya.
Segera saya bersalaman dengannya dan mengajaknya masuk.
“Ya Allah Arif ... Kamu...” Ucapku yang masih tak percaya bahwa itu adalah Arif.
“Jangan menangis... “Ucapnya seraya mengusap air mataku.
Hari-hari kami lewati dengan penuh kebahagiaan. Aku benar-benar senang Arif  bisa pulang ke Jakarta.
Namun suatu hari....
“Ukhti akhi mau bicara....”
“Ya, apa?”
“Sebelumnya maafin akhi, akhi mau pisah ma ukhti”
“Akhi gak lucu... Beneran dong.... Mau bicara apa?” Tanyaku
“beneran, akhi udah dijodohin sama kyai disana. Katanya Afifatuzakiyah Nur Septiani”
“Itu khan Afif...”
“Benar, kata kyai, cewek itu paling jodoh ma akhi, secepatnya akhi harus menikahinya, sebelum terlambat”
“Bohong.... Itu mungkin akal-akalan akhi biar bisa putus sama ukhti dan pindah ke Afif.”
“Demi Allah... bukannya akhi gak sayang lagi ma ukhti, tapi beneran Ucapnya sambil meneteskan air mata dan duduk dibawahku...
“Udah gak lucu...” lalu aku Iangsung berlari menuju kamar. Aku tak bisa membendung air mata ku lagi.
“Begitu gampangnya ia berkata seperti itu. Baru beberapa hari dia bersamaku dia tega berkata seperti itu?” Batinku kesal.
“Ukhti “ Panggilnya sambil membuka pintu kamarku.
“Maafkan aku... Tapi Demi Allah.. Itu semua bukan kemauanku”. Sesaat suasana hening, tiba-tiba mb Nina mengagetkanku.
“Neng Syifa... Ada telefon...” Entah mengapa rasanya aku ingin segera mengangkatnya. Aku pun berlari menuju ruang keluarga dan langsung menyahut gagang telefon yang sebelumnya dipegang mb.Nina.
“Assalamu’alaikum...” Salam seorang wanita yang sepertinya aku mengenali suaranya.
“Wa’alaikumsalam... Tante Riska?”
“Iya... ehm... Syifa kamu bisa gak sekarang juga pergi ke RSU Bakti Husada? Tante butuh banget...”
“Siapa yang sakit tante?” tanyaku penasaran.
“Nanti aja... Yang penting kamu kesini dulu...”
“Baiklah tante... Syifa usahakan...”
“Terima kasih ya. . Assalamu’alaikum...”
“Wa’ alaikumsalam...” Jawabku mengakhiri percakapan.
Segera kuambil tasku. Aku dan Arif pun langsung bergegas menuju rumah sakit.


Sesampainya disana
“Tante... siapa yang sakit? Tanyaku yang masih penasaran.
“Maafin tante. . Afif...” Ucapnya sambil menangis histeris.
“Afif kenapa tante?” Tanyaku yang masih penasaran. Tanpa berfikir panjang aku pun langsung melihat keruangan yang berada tepat disebelah kami lewat jendela, sementara Arif menenangkan tante Riska.
Terlibat tubuh Afif yang lemas yang tergeletak di tempat tidur.
“Tante.. . Afif sakit apa?” tanyaku histeris.
“Kanker otak stadium akhir”
“Apa? Kenapa Afif  tidak bilang kepadaku kalau dia punya penyakit?” Tanyaku tak percaya.
“Tante juga baru tahu. . . Maafkan tante.”
Kulangkahkan kakiku mendekati Arif.
                   “ Bisikku didekat telinganya.
“Maksud ukhti?”
Demi ukhti... Ukhti sudah ikhlas.. . Pliss... Sebelum terlambat.” Pintaku.
“Baiklah.”

Beberapa Hari Kemudian
“Apa? Afif  udah sadar?
Ucapku bahagia setelah diberitahu oleh Arif lewat via telefon, bahwa Afif sudah sadar setelah 3 hari koma.
Segera kulajukan mobilku ke Rumah Sakit tempat Afif dirawat.
Sesampainya disana, ternyata Arif sudah berada didekat Afif.
“Assalamu’alaikum...” Salamku sambil membuka pintu.
“Wa’alaikumsalam” Jawab mereka serentak. Terlihat wajah Afif sangat bahagia. “Kamu sudah cerita ke Afif? Tanyaku lirih.
“Udah... “Tanggapannya?”
“Dia mau asalkan kamu udah ikhlas.”
“Sepertinya Afif memang mencintai Arif”,
Ah... gak boleh suudzon” Batinku.

1 Minggu Kemudian Arif & Afif menikah. Entah mengapa hatiku masih belum bisa menerima kenyataan mi.
Setelah mereka menikah, mereka memutuskan untuk hijrah ke Bandung. Aku tak bisa menerima kenyataan begitu cepatnya Arif meninggalkanku. Tak tahu kenapa kurang lebih 1 tahun ini aku sering pingsan, hidungku sering mengeluarkan darah, dan rambutku sedikit demi sedikit rontok. Setelah aku periksakan ke dokter. Aku divonis kanker otak stadium akhir. Tak ada seorangpun yang mengetahui tentang penyakitku. Termasuk mb Nina, pembantuku. Mb Nina juga termasuk orang terdekatku. Karena mama dan papa kerja di Amerika.

2 Bulan Kemudian
“Tok. . . tok. . . tok” Terdengar seseorang mengetuk pintu. “Iya ada apa?” Tanyaku sambil membuka pintu.
“Apa?Afif. . . Arif... ?“ kagetku. Melihat Afif dan Arif datang kerumahku.
“Silakan masuk...” Ucapku sambil menggandeng Afif.
“hmm. . . BTW, apa kabar?” Sahut Arif membuka pembicaraan.
“Alhamdulillah baik-baik saja. Afif, perutmu gak kelihatan besar, gak lah Cuma bercanda.”
“Iya kamu do’ain aja cepet dikasih momongan,” Jawab Arif.
“Amien.”
“Ehm. klo boleh tahu apakah kamu benar sering sakit-sakitan?” Tanyanya sedikit ragu.
“Ka. .kamu tahu dan mana?”
“Ya klo mungkin be……..”  Belum selesai Arif bicara tiba-tiba Afif mengejutkan kami. tiba-tiba Afif lemas dan pingsan dipundak Arif.
“Afif...” Teriak kami serentak.
Memang dari tadi Afif terlihat pucat, pandangannya kabur, dan dari tadi dia hanya diam saja. Akhirnya kami memutuskan membawa Afif kerumah sakit. Aku tak tega melihat Afif seperti itu... Tiba-tiba saja kepalaku pusing, dan “Brokk...” Aku jatuh pingsan dipelukan Arif.
Beberapa Hari Kemudian
Saat kubuka mata kulihat ada Arif dan Mb. Nina disampingku.
“Arif,... Afif mana?” Tanyaku sedikit cemas.
“Afif baik-baik saja...” Jawabnya dengan nada sedikit berbeda. Lalu ia palingkan pandangannya dariku dengan membelakangiku. Aku tak mengerti apa maksudnya mengapa ia seperti itu?

Malam Harinya
“Ya Allah maafkan hamba, hamba mengaku belum ikhlas Arif bersama Afif, Tapi. . . Hamba juga sayang ma mereka, hamba tak mau menyakiti hati mereka.” Doaku saat aku teringat akan umurku. Kubuka selembar demi selembar buku harianku. Kusobek selembar kertas dari buku harianku. Kutulis sebuah surat tuk seseorang.





Dear : Arif Nur Haidayat

Sebelumnya maafin aku, Terima kasih sekali kamu mau menemaniku disisa hidupku. Terima kasih kamu mau menjadi orang yang paling aku sayangi. Bukannya aku gak sayang ma Ortuku, tapi aku juga baru tahu klo Ortuku udah meninggal 2 bulan lalu. Terima kasih sekali kamu mau jadi bagian hidupku. Setidaknya aku pernah mengenalmu dan memilikimu. Walaupun tidak untuk selamanya.
“Mengapa kita bertemu. . . Tapi akhirnya dipisahkan. . . Mengapa kita berjumpa. .. Tapi akhirnya dijauhkan... Kau bilang hatimu aku, nyatanya bukan untuk aku...
Bintang dilangit nan indah. . . Dimanakah cinta yang dulu... Masihkah aku disana. . . Direlung hati dan mimpimu. . . Kau bilang hatimu aku. . . Nyatanya bukan untuk aku...
Aku hancur. . . Kuterluka. . . Namun engkaulah nafasku. .. Kau cintaku. . . Meski aku. . Bukan dibenakmu lagi. .. Dan kuberuntung... Sempat Memilikimu...”

Maafin aku klo aku punya salah...

By Syifa Amalia Nur Rohmah

Lalu kulipat kertas itu dan ku masukkan ke dalam buku harianku.

Keesokan harinya
“Met pagi...” Ucapnya mengagetkanku, setelah membuka garden.
“Tau gak. .. Kamu udah boleh pulang...”
“Apa? Benar...” Setelah mendengar ucapan dan Arif. Diriku bagaikan sudah sembuh total...
“Bagaimana dengan. .. Afif?”
“Dia udah pulang duluan. .. “Ucapnya sedikit ragu.
“Eh. . . nich ada surat untukmu...”
Ucapku sambil memberikan selembar kertas kepadanya.
“Dan kamu?” Tanyanya seolah tak percaya. Tetapi aku tak menjawabnya hanya tersenyum kecil.
Sejenak ia terdiam lalu perlahan mendekatiku yang sedang asyik bermain game di hpku.
“Syifa... Aku mau jujur... Sebenamya. .. em...”
“Apa? Jangan bikin orang penasaran donk...”
“Em... “Gak lucu... cepet apa...”
“Afif. .. Afif udah meninggal. .. 3 hari lalu.”
“Hey... Jangan bercanda donk. .. gak lucu tau...”
“Benar. . . Demi Allah...” Ucapnya meyakinkanku. Matanya mulai berkaca-kaca. . . Menandakan ía benar-benar jujur padaku.
“Antarkan aku ruang mayat!!!”
“Ia udah dimakamkan... di Batam...”
Aku tak kuasa membendung air mataku. Tiba-tiba saja kepalaku merasa pusing, pandanganku mulai kabur...
Tiba-tiba aku berada diruangan putih, dan tak ada siapapun disana. . . Terlihat sesorang ingin menggandengku tuk pergi, tapi aku tahan karena aku mendengar suara Arif.
“Syifa... Syifa bangun Syifa...”
Semakin lama suara itu semakin menghilang dan aku hanya mampu mengucapkan
“Selamat Tinggal.. . Maafkan aku...”
Tiba-tiba orang yang tadi ingin menggandengku pergi lantas menyeretku dan aku pergi meninggalkan dunia ini tuk selama-lamanya.





The End

Tidak ada komentar:

Posting Komentar