SEMPAT MEMILIKI
Hamparan gedung-gedung mewah nan mencakar langit, gemerlap kerlap-kerlip lampu-lampu jalanan ibukota yang memperindah kota Jakarta, serta suara ricuh kendaraan bermotor yang tiada henti selalu menemaniku menghabiskan waktu istirahatku dimalam hari, setelah kesibukanku sebagai mahasiswa disalah satu Universitas ternama di Jakarta.
“Mengapa
kita bertemu …………. Bila akhirnya dipisahkan……………”
Terdengar suara nada dering mp3 “Sempat Memiliki” yang pernah dibawakan grup band kesayanganku “Yovie n’ Nuno”. Segera kuambil handphoneku yang bermerkan “I Phone 35 S” diatas meja belajarku. Terlihat dilayarnya terdapat 12 digit nomer yang berbeda. Kupencet salah satu tombol dan ketiga tombol yang berada dibawah layar touchscreen.
Terdengar suara nada dering mp3 “Sempat Memiliki” yang pernah dibawakan grup band kesayanganku “Yovie n’ Nuno”. Segera kuambil handphoneku yang bermerkan “I Phone 35 S” diatas meja belajarku. Terlihat dilayarnya terdapat 12 digit nomer yang berbeda. Kupencet salah satu tombol dan ketiga tombol yang berada dibawah layar touchscreen.
“Assalamu’alaikum
ya ukhti...” Terdengar suara seorang laki-laki mengucapkan salam.
“Wa’alaikumsalam
ya akhi.. . Tumben telfon, ada apa?”
“Ukhti..
. Maaf sebelumnya, jadwal keberangkatan pesawat akhi maju. Nanti sore jam 5 akbi
terbang menuju Mesir” ucapnya.
“Tapi
akhi, bukankah harusnya 3 hari lagi?”
“Iya...
Tapi jadwalnya memang diajukan.”
“Ya
sudah akhi, nanti sore ukhti coba ke rumah akhi.”
“Sekali
lagi maaf. . . Wassalamu’alaikum...”
“Wa’alaikumsalam”
Pukul
15.00
“Tok.
.tok. .tok...” terdengar suara ketukan pintu dan arah pintu utama.
“Iya
ada apa?” Tanyaku sambil membukakan pintu.
“Afif
? tumben kamu kesini? Tanyaku lagi.
“Em...
iya maaf..Kamu nggak ke rumah Arif?”
“Rencananya
sih sekarang. ehm... Kamu tunggu dulu diruang tamu. .. ayo masuk” ajakku.
Setelah
aku mempersiapkan semuanya, aku dan Afif pergi ke rumah Arif. “Ayo... “ajak
Afif. Kulangkahkan kakiku keluar rumah. Lalu kumasuki sebuah mobil mercy warna silver berplat nomor B 2013 AS milikku.
Afif. Kulangkahkan kakiku keluar rumah. Lalu kumasuki sebuah mobil mercy warna silver berplat nomor B 2013 AS milikku.
Sampainya
disana...
“Tok.
.tok. .tok...” kuketuk pintu rumahnya dan muncullah seorang perempuan.
“Assalamu’alaikum
mb.. . Arifiiya ada?” Tanya Afif.
“Eh
mb Afif, mb Syifa. .. Wa’alaikumsalam. . . Den Arif ada kok. .masuk.”
“Terima
kasih mb...” Akhirnya kami
masuk ke rumah Arif dan duduk di ruang tamu. Tak lama kemudian, Arif keluar dan
menghampiri kami.
“Syifa,
Afif. . . Terima kasih kalian mau kesini.
“Sama-sama”
jawab Afif. Tanpa terasa aku meneteskan air mata. dan. . “Syifa kamu kenapa?”
Tanya Afif.
“Gak
papa kok...” Jawabku sambil mengucap air mataku.”
“Jangan
bohong. . . kamu gak rela aku pergi?” Tanya Arif.
“Bukannya
begitu, tapi...”
“Udahlah..
. Maafin aku ya...” Pintanya.
“Ya.
. . Em.. . Afif kamu bisa ninggalin kita gak. . . Bentar aja.”
“Ya.
.. aku makiumi kok duluan ya... Assalamu’alaikum...” Ucapnya sambil membuka pintu
dan keluar dan rumah Arif.
“Ukhti.
. . Maaf. . . Em... k1 boleh tahu, ukhti kenapa gak ke Pondok Pesantren lagi?
Malah, kuliah disini?” Tanyanya membuka percakapan. Aku tak menjawab
pertanyaanya, tetapi aku hanya diam dan menggeleng-gelengkan kepala, tak jarang
kuusap air mataku yang sesekali jatuh ke pipiku.
“Ya
udah... diam donk... aku gak lama, hanya 2 tahun. Klo mau aku sih, selama aku
di Mesir, kamu balik ke Pondok aja, biar kamu gak terlalu mikirin aku”
Pintanya.
“Semua
demi kamu. . . kamu tahu kenapa aku pulang ke Jakarta, padahal aku udah betah
banget, pulang aja 1 tahun sekali, itu aja klo terpaksa. Tapi kemarin aku
putusin tuk bohong demi kamu...” Ucapku dengan nada terbata-bata...
“Ya
udah. .. yang penting kamu ikhlas aku pergi.
Percaya
setelah studyku selesai aku langsung nikahin kamu. Pacaran 2 tahun bukan waktu yang
singkat. Aku sayang banget ma kamu...” Ucapnya sambil memegang tanganku.
Tak
terasa jam menunjuk ke arah angka 4. Aku dan Afif pun mengantarkan Arif hingga bandara.
“Aku
pergi dulu ukhti. Sabar ya... ,Afif aku titip Syifa. Klo ada apa-apa...” Belum
selesai Arif bicara, perkataannya lantas diputus oleh Afif.
“Insyaallah...
Sorry klo gak bisa sempurna. Khan yang penting Syifa gak napa-napa Ok?”
Memang
Afif adalah sahabat setiaku, sejak di Pondok 7 tahun lalu. Diapun rela hijrah
ke Jakarta demi aku, padahal rumahnya Batam. Diapun juga suka bercanda. Aku
senang sekali bisa punya sahabat seperti dia dan boyfriend seperti Arif.
Setelah
kepergian Arif ke Mesir, aku lantas melanjutkan kuliahku tetap di Jakarta.
Walaupun tidak di Pondok, tapi aku tetap akan setia menunggu Arif.
2
Tahun Kemudian ………..
“Assalamu’alaikum...”
sapa seorang lelaki dari depan pintu.
“Wa’alaikumsalam....
Arif “ Teriakku tak percaya.
Segera
saya bersalaman dengannya dan mengajaknya masuk.
“Ya
Allah Arif ... Kamu...” Ucapku yang masih tak percaya bahwa itu adalah Arif.
“Jangan
menangis... “Ucapnya seraya mengusap air mataku.
Hari-hari
kami lewati dengan penuh kebahagiaan. Aku benar-benar senang Arif bisa pulang ke Jakarta.
Namun
suatu hari....
“Ukhti
akhi mau bicara....”
“Ya,
apa?”
“Sebelumnya
maafin akhi, akhi mau pisah ma ukhti”
“Akhi
gak lucu... Beneran dong.... Mau bicara apa?” Tanyaku
“beneran,
akhi udah dijodohin sama kyai disana. Katanya Afifatuzakiyah Nur Septiani”
“Itu
khan Afif...”
“Benar,
kata kyai, cewek itu paling jodoh ma akhi, secepatnya akhi harus menikahinya,
sebelum terlambat”
“Bohong....
Itu mungkin akal-akalan akhi biar bisa putus sama ukhti dan pindah ke Afif.”
“Demi
Allah... bukannya akhi gak sayang lagi ma ukhti, tapi beneran Ucapnya sambil
meneteskan air mata dan duduk dibawahku...
“Udah
gak lucu...” lalu aku Iangsung berlari menuju kamar. Aku tak bisa membendung
air mata ku lagi.
“Begitu
gampangnya ia berkata seperti itu. Baru beberapa hari dia bersamaku dia tega
berkata seperti itu?” Batinku kesal.
“Ukhti
“ Panggilnya sambil membuka pintu kamarku.
“Maafkan
aku... Tapi Demi Allah.. Itu semua bukan kemauanku”. Sesaat suasana hening, tiba-tiba
mb Nina mengagetkanku.
“Neng
Syifa... Ada telefon...” Entah mengapa rasanya aku ingin segera mengangkatnya.
Aku pun berlari menuju ruang keluarga dan langsung menyahut gagang telefon yang
sebelumnya dipegang mb.Nina.
“Assalamu’alaikum...”
Salam seorang wanita yang sepertinya aku mengenali suaranya.
“Wa’alaikumsalam...
Tante Riska?”
“Iya...
ehm... Syifa kamu bisa gak sekarang juga pergi ke RSU Bakti Husada? Tante butuh
banget...”
“Siapa
yang sakit tante?” tanyaku penasaran.
“Nanti
aja... Yang penting kamu kesini dulu...”
“Baiklah
tante... Syifa usahakan...”
“Terima
kasih ya. . Assalamu’alaikum...”
“Wa’
alaikumsalam...” Jawabku mengakhiri percakapan.
Segera
kuambil tasku. Aku dan Arif pun langsung bergegas menuju rumah sakit.
Sesampainya
disana
“Tante...
siapa yang sakit? Tanyaku yang masih penasaran.
“Maafin
tante. . Afif...” Ucapnya sambil menangis histeris.
“Afif
kenapa tante?” Tanyaku yang masih penasaran. Tanpa berfikir panjang aku pun langsung
melihat keruangan yang berada tepat disebelah kami lewat jendela, sementara
Arif menenangkan tante Riska.
Terlibat
tubuh Afif yang lemas yang tergeletak di tempat tidur.
“Tante..
. Afif sakit apa?” tanyaku histeris.
“Kanker
otak stadium akhir”
“Apa?
Kenapa Afif tidak bilang kepadaku kalau
dia punya penyakit?” Tanyaku tak percaya.
“Tante
juga baru tahu. . . Maafkan tante.”
Kulangkahkan
kakiku mendekati Arif.
“ “ Bisikku didekat
telinganya.
“Maksud
ukhti?”
Demi
ukhti... Ukhti sudah ikhlas.. . Pliss... Sebelum terlambat.” Pintaku.
“Baiklah.”
Beberapa
Hari Kemudian
“Apa?
Afif udah sadar?
Ucapku
bahagia setelah diberitahu oleh Arif lewat via telefon, bahwa Afif sudah sadar
setelah 3 hari koma.
Segera
kulajukan mobilku ke Rumah Sakit tempat Afif dirawat.
Sesampainya
disana, ternyata Arif sudah berada didekat Afif.
“Assalamu’alaikum...”
Salamku sambil membuka pintu.
“Wa’alaikumsalam”
Jawab mereka serentak. Terlihat wajah Afif sangat bahagia. “Kamu sudah cerita
ke Afif? Tanyaku lirih.
“Udah...
“Tanggapannya?”
“Dia
mau asalkan kamu udah ikhlas.”
“Sepertinya
Afif memang mencintai Arif”,
Ah...
gak boleh suudzon” Batinku.
1
Minggu Kemudian Arif & Afif menikah. Entah mengapa hatiku masih belum bisa
menerima kenyataan mi.
Setelah
mereka menikah, mereka memutuskan untuk hijrah ke Bandung. Aku tak bisa
menerima kenyataan begitu cepatnya Arif meninggalkanku. Tak tahu kenapa kurang
lebih 1 tahun ini aku sering pingsan, hidungku sering mengeluarkan darah, dan
rambutku sedikit demi sedikit rontok. Setelah aku periksakan ke dokter. Aku
divonis kanker otak stadium akhir. Tak ada seorangpun yang mengetahui tentang
penyakitku. Termasuk mb Nina, pembantuku. Mb Nina juga termasuk orang
terdekatku. Karena mama dan papa kerja di Amerika.
2
Bulan Kemudian
“Tok.
. . tok. . . tok” Terdengar seseorang mengetuk pintu. “Iya ada apa?” Tanyaku
sambil membuka pintu.
“Apa?Afif.
. . Arif... ?“ kagetku. Melihat Afif dan Arif datang kerumahku.
“Silakan
masuk...” Ucapku sambil menggandeng Afif.
“hmm.
. . BTW, apa kabar?” Sahut Arif membuka pembicaraan.
“Alhamdulillah
baik-baik saja. Afif, perutmu gak kelihatan besar, gak lah Cuma bercanda.”
“Iya
kamu do’ain aja cepet dikasih momongan,” Jawab Arif.
“Amien.”
“Ehm.
klo boleh tahu apakah kamu benar sering sakit-sakitan?” Tanyanya sedikit ragu.
“Ka.
.kamu tahu dan mana?”
“Ya
klo mungkin be……..” Belum selesai Arif
bicara tiba-tiba Afif mengejutkan kami. tiba-tiba Afif lemas dan pingsan
dipundak Arif.
“Afif...”
Teriak kami serentak.
Memang
dari tadi Afif terlihat pucat, pandangannya kabur, dan dari tadi dia hanya diam
saja. Akhirnya kami memutuskan membawa Afif kerumah sakit. Aku tak tega melihat
Afif seperti itu... Tiba-tiba saja kepalaku pusing, dan “Brokk...” Aku jatuh
pingsan dipelukan Arif.
Beberapa
Hari Kemudian
Saat
kubuka mata kulihat ada Arif dan Mb. Nina disampingku.
“Arif,...
Afif mana?” Tanyaku sedikit cemas.
“Afif
baik-baik saja...” Jawabnya dengan nada sedikit berbeda. Lalu ia palingkan
pandangannya dariku dengan membelakangiku. Aku tak mengerti apa maksudnya
mengapa ia seperti itu?
Malam
Harinya
“Ya
Allah maafkan hamba, hamba mengaku belum ikhlas Arif bersama Afif, Tapi. . . Hamba
juga sayang ma mereka, hamba tak mau menyakiti hati mereka.” Doaku saat aku
teringat akan umurku. Kubuka selembar demi selembar buku harianku. Kusobek
selembar kertas dari buku harianku. Kutulis sebuah surat tuk seseorang.
Dear : Arif Nur Haidayat
Sebelumnya
maafin aku, Terima kasih sekali kamu mau menemaniku disisa hidupku. Terima
kasih kamu mau menjadi orang yang paling aku sayangi. Bukannya aku gak sayang
ma Ortuku, tapi aku juga baru tahu klo Ortuku udah meninggal 2 bulan lalu.
Terima kasih sekali kamu mau jadi bagian hidupku. Setidaknya aku pernah mengenalmu
dan memilikimu. Walaupun tidak untuk selamanya.
“Mengapa
kita bertemu. . . Tapi akhirnya dipisahkan. . . Mengapa kita berjumpa. .. Tapi
akhirnya dijauhkan... Kau bilang hatimu aku, nyatanya bukan untuk aku...
Bintang
dilangit nan indah. . . Dimanakah cinta yang dulu... Masihkah aku disana. . . Direlung
hati dan mimpimu. . . Kau bilang hatimu aku. . . Nyatanya bukan untuk aku...
Aku hancur. . . Kuterluka. . . Namun engkaulah nafasku. .. Kau cintaku. . . Meski aku. . Bukan dibenakmu lagi. .. Dan kuberuntung... Sempat Memilikimu...”
Aku hancur. . . Kuterluka. . . Namun engkaulah nafasku. .. Kau cintaku. . . Meski aku. . Bukan dibenakmu lagi. .. Dan kuberuntung... Sempat Memilikimu...”
Maafin aku klo aku
punya salah...
By Syifa Amalia Nur
Rohmah
Lalu kulipat
kertas itu dan ku masukkan ke dalam buku harianku.
Keesokan
harinya
“Met
pagi...” Ucapnya mengagetkanku, setelah membuka garden.
“Tau
gak. .. Kamu udah boleh pulang...”
“Apa?
Benar...” Setelah mendengar ucapan dan Arif. Diriku bagaikan sudah sembuh
total...
“Bagaimana
dengan. .. Afif?”
“Dia
udah pulang duluan. .. “Ucapnya sedikit ragu.
“Eh.
. . nich ada surat untukmu...”
Ucapku
sambil memberikan selembar kertas kepadanya.
“Dan
kamu?” Tanyanya seolah tak percaya. Tetapi aku tak menjawabnya hanya tersenyum
kecil.
Sejenak
ia terdiam lalu perlahan mendekatiku yang sedang asyik bermain game di hpku.
“Syifa... Aku mau jujur...
Sebenamya. .. em...”
“Apa?
Jangan bikin orang penasaran donk...”
“Em...
“Gak lucu... cepet apa...”
“Afif.
.. Afif udah meninggal. .. 3 hari lalu.”
“Hey...
Jangan bercanda donk. .. gak lucu tau...”
“Benar.
. . Demi Allah...” Ucapnya meyakinkanku. Matanya mulai berkaca-kaca. . . Menandakan
ía benar-benar jujur padaku.
“Antarkan
aku ruang mayat!!!”
“Ia
udah dimakamkan... di Batam...”
Aku
tak kuasa membendung air mataku. Tiba-tiba saja kepalaku merasa pusing, pandanganku
mulai kabur...
Tiba-tiba
aku berada diruangan putih, dan tak ada siapapun disana. . . Terlihat sesorang
ingin menggandengku tuk pergi, tapi aku tahan karena aku mendengar suara Arif.
“Syifa...
Syifa bangun Syifa...”
Semakin
lama suara itu semakin menghilang dan aku hanya mampu mengucapkan
“Selamat Tinggal..
. Maafkan aku...”
Tiba-tiba
orang yang tadi ingin menggandengku pergi lantas menyeretku dan aku pergi
meninggalkan dunia ini tuk selama-lamanya.
The End
Tidak ada komentar:
Posting Komentar