AURORA: DI MASJID HATIKU TERKAIT
Aurora Aurum Ayuverda, serangkaian
nama yang ta’ asing lagi
buat siswa-siswi SMAN 1 Garuda, Bandung. Yach, benar... gadis yang biasa
dipanggil “Rora” ini memang cewek ter “top” Selingkungan schoolnya. Bahkan di
luar sekolahnya juga, bukan karena canggih “brain”nya, melainkan karena pesona
luarnya yang mampu menyibir cowok-cowok disekitarnya. Buih-buih,kebayangkan cantiknya
saja.
................................
Dim? dicari tuh!” Nasya, teman
sekelas Dimas mengagetkannya.
“Apaan sih, ganggu aja!”
“Tuch, dicari’in kepiting?”
“Kepiting siapa?”
“Dah, keluar aja, di taman
katanya!” Nasya langsung mendorong Dimas keluar... ‘n ternyata. Itu cuman
akal-akalannya si Nasya ja buat ngedeketin Rora... tadinya ta’ begitu berani
karena ada Dimas, makanya dia bo’ong.
“PrincesAurora....” Dengan suara
yang dibuat selembut-lembutnya, Nasya menghampiri Rora yang sedang asyik mencontek
tugas Match punya shabatnya.
Rora ta’ merespon.
“Oh princes... tambah hari, tambah
cantik saja...”, mulai
merayu sambil menghadap pas di depan Rora ‘n ta’ sengaja Nasya mengenggol
tangan Rora. spontan tulisannya berantakan.
“Brakkk! ! !“
“Heh! Lo tuch lihat g’ sih...
berantakan nih tulisan gue!”
“Aduh princes. Sory dech.
Sony....”
“Sorry-sony, makan tuch sorry!”
Tanpa basa basi Rora langsung
cabut tanpa menoleh...
“Hahaiii... Rasain lu! Mangkanya,
jadi orang jangan lebay... sok keren lagi! Ngaca dong lu!” semprot Gisca, teman
Rora.
“Diem lu! Cerewet!” tiba-tiba
Dimas datangmengetahui Dimas datang, Nasya langsung cabut.
“Hey-hey-hey ………..... Mau lan
kemana lo! Pembohong lu!” langsung, tangannya diseret keluar oleh Dimas.
Teman-teman yang lain hanya geleng kepala melihat tingkah mereka yang seperti
anak kecil itu!’
………………………………
“RA, dipanggil babe lu tuh!”
“Pak Andre maksud lho ?”
“Ya yalah… siapa lagi.” Rora mengernyitkan dahinya. “Tumben… lo bohong ya!”
Rora masih ta’ percaya… eh … ni anak dibilangin… bwat apa gue bohong ma lo! Ga
da untungnya juga!” Rora malah bengong. “Hey! Gue seriuz nih… dah, sana cepet!
Keburu dapet semprotan lo!” Gisca langsung mendorong Rora keluar.
……………………….
“Permisi Pak.” Pelan-pelan Rora masuk ruang kepsek. “Oh... mari...
silahkan duduk Ra”. Pak Andre, kepsek
sekolahnya Rora langsung menyambutnya. Pak Andre si Duren di kenal kepsek terkiller, tapi jika di luar sekolah, terkenal genitnya. “Maaf, bapak memanggil saya?” “Oh ya,
benar!”. “Ada apa pak? Kok tumben...
padahal, saya kan absennya nihil
semua pak?” Rora agak canggung, karena
biasanya jika dipanggil, pasti
karena absennya yang sering alpha dan bolos. “Oh... tidak”, bukan karena itu...” Pak Andre Iangsung
memotong. “Jadi………..“ “Jadi
gini, kemarin kan kelas-kelas sudah ditarik sumbangan se-ikhlasnya
untuk dana bantuan Yayasan Panti
Asuhan Al-hidayah,dan dari sekolah
rencananya yang akan menyerakannya adalah perwakilan murid-muridnya, dan kemarin guru- guru memutuskan
kamu yang akan menyerahkan dana tersebut dengan dibantu Dimas, ketua OSIS...”
“Apa..,apa pak??? Saya???” Rora benar-benar kaget. Karena dia paling malez dan alergi jika sudah berhadapan dengan PA. Jangankan ke PA, mendengar saja telinganya sudah gatal.
Karena gengsi dan dia fikir PA itu
adalah tempatnya orang-orang miskin.
“Ya, kamu... ada apa? ko’ kelihatannya kaget gitu...”
Pak Andre meyakinkan “Apa nggak ada
yang lain, pak?”
“Ini sudah kesepakatan semua pihak, Ra, dan kami harap kamu bisa melaksanakan amanah itu...” mau tak mau Rora meng-ya-kan amanah itu.
“Baik Pak.. .“ jawabnya berat. “Nah...
begitu dong. Oya, nanti sehabis sekolah jangan pulang dulu ya, biar orang
tuamu nanti saya yang
mengabari.”
“Siang ini pak???”
“Ya... karena jadwal selanjutnya masih banyak nanti kamu sama Dimas langsung berangkat ke sana,
biar Pak Doni yang mengantarkannya.”
Jelas Pak Andre selanjutnya.
Rora menelan ludah dan hanya manggut-manggut berat. Dalam hatinya benar-benar berontak. “Ya sudah,
sekarang kamu boleh kembali ke kelas, nanti biar Dimas saya yang memberitahu tentang itu,
terima kasih ya Ra!” Rora beranjak
dan menyalami Pak Andre, “Ya pak”.
“What?? Ke Panti Asuhan?? Kamu Ra???” pagi ini, teman
temannya Rora benar-benar gempar dengan berita yang dibawakan Rora.
“Lo serius Ra???” Rica masih
tak percaya tapi yang ditanya
malah bengong.
“Yza ampun Ra???!! padahal lo kan paling alergi sama PA!”
“Jangankan masuk ke areanya,
denger aja lo dah malez bangeh_
“Wah.. .wah... ada gelar baru nih..”
Teman-temannya Rora benar-benar gempar
“Diammmm!” Rora semakin pusing mendengar ocehan-ocehan teman-temannya
happp! Spontan, semua langsung
diam.
………………
Pagi ini, jam pelajaran di
lalui Rora semakin membosankan,
Rora benar-benar suntuk dan jam pelajaran
usai. Detik-detik menjenuhkan benar-benar
akan dilalui Rora.
Dengan langkah malas, Rora terpaksa melangkahkan kakinya ke dalam mobil pribadi sekolah
bersama Dimas dan diselingi tawa,
gurau temannya.
“Lu knapa sih ra?!! Dari tadi
gue perhatiiin cemberut trus...”
Dimas yang dari tadi diam, menyapa Rora. Tapi Rora ta’ menjawab.
“Diem lu! Berisik!” sembur Rora. Dimas diam, dan sampai di PA A1-Hidayah ta’ da obrolan sama sekali diantara mereka.
…….
Setelah acara serah terima bantuan dan penyambutan dan PA A1-Hidayah, Rora keluar dan ruang tamu dan dia sejenak melihat sekitar yayasan, sekedar melepas jenuh, karena baru
kali ini dia menginjakkan kakinya ke PA dan dan dia berfikir untuk pertama
dan rerakhir setelah menemukan sebuah
tempat sejuk, dia duduk ringan. Lama kelamaan, dia mendengar sayup-sayup suara
seseorang dari arah masjid PA tersebut seperti bersyair. Penasaran dia langsung mendekatinya,sangat indah suara itu.
Fikir Rora. Baru kali ini dia mendengarkan suara itu dan perlahan ia melangkahkan kakinya
ke serambi masjid. “Teryata cowok”.... Desisnya “Oh god.... Ganteng banget
cowok itu.” Rora masih
tak berkedib,karena asik melihat cowok tersebut. Ia ta’ sadar
menginjak pecahan keramik,
spontan iamenjerit “Awww! ! !“ cowok
yang diperhatikan dan tadi kaget dan menghentikan kegiatannya dan langsung keluar dari masjid.
“Assalamu’alaikum ... mbak... ada yang bisa dibantu?” Sapa cowok itu dan Rora semakin terbengong”.. Melihatnya... “Ma’af... mbak... ada yang bisa dibantu?” Cowok itu mengulangi pertanyaan,Rora kaget. “Oh... tidak-tidak terima kasih...” Rora langsung pergi, sambil menahan sakit akibat goresan pecahan keramik.
“Assalamu’alaikum ... mbak... ada yang bisa dibantu?” Sapa cowok itu dan Rora semakin terbengong”.. Melihatnya... “Ma’af... mbak... ada yang bisa dibantu?” Cowok itu mengulangi pertanyaan,Rora kaget. “Oh... tidak-tidak terima kasih...” Rora langsung pergi, sambil menahan sakit akibat goresan pecahan keramik.
…………
Setelah kejadian itu, entah
kenapa Rora jadi terus teringat wajah cowok di masjid PA
Al-Hidayah. Dia juga jadi pendiam, ga’ seperti biasanya, yang difikirannya
hanya baying-bayang wajah cowok itu dan anehnya, dia ingin kembali ke PA tersebut. Padahal itu adalah salah satu tempat yang ia benci. Melihat Rora
seperti itu, Gisca CS
mendekatinya.
“Ra, lu kenapa sih... ko’
jadi anteng gitu???” Gisca mengawali pembicaraannya.
“Ya... ra... lu ko’ jadi ga’
asyik gini...” sambung yang
lainnya, protes.
“Gue juga g’ tau semenjak gue
ngliat cowok di PA itu, jadi keingetan terus,” jawab Rora
terang-terangnya.
“Whattt????... oh god... jadi lu falling in love nich ra! !“ Gisca dan yang lain melotot.
“Sumpah, dia ganteng banget... baru kali ini gue lihat cowok seperti itu... putihnya, halusnya, suaranya….”
“Sumpah, dia ganteng banget... baru kali ini gue lihat cowok seperti itu... putihnya, halusnya, suaranya….”
“Wah ... gawat.... Benar-benar gawat ni gis!”
“Shobat kita jatuh cintrong... oh no!.....”
Spontan, mereka tertawa renyah, tak terkecuali Rora.
…..
Semakin hari, Rora semakin gila,bawaannya hanya ngelamun, menyendiri dan
hal-hal aneh yang ga’ pernah ada di sifat Rora sebelumnya.
“Wah.. lu g’ bisa kaya’ gini terus Ra!” Gisca CS membubarkan lamunannya.
“Ya nich dan pokoknya, gue
harus ngungkapin perasaan gue
ke cowok itu!”jelas Rora tegas.
“Lo serius ra!! Lo kan
belon kenal do’inya!” Rica kaget
mendengar pernyataan Rora, ta’
terkecuali cs yang lainnya.
“Lagian, lu kan cewek Ra!”
“Ah.... Masa bodo! Daripada
gue kaya gini terus. Lagian ini
bukan tahun 2000-an lagi, apalagi
19-an dah 2011 brow! Zamannya dah berubah ... sekarang, gantian cewek dong yang ngungkapin
ke cowok, masak cowok terus!”
Ucapnya tegas, mendengar pernyataan bulat dan Rora, teman-temannya hanya
bisa geleng kepala. Benar-benar di luar adat. Masa cewe’ nembak cowok?
Belom kenal lagi...
“Yap! Pokoknya, aku harus kesana hari ini!” katanya mantab sambil berlari keluar.
…………..
Benar saja, hari ini dia
benar-benar datang ke PA
tersebut dan syukurnya dia langsung
ketemu cowok yang selama minggu-minggu ini membuatnya ta’ bisa tidur. Cowok
itu sedang memotongi rumput di
taman. Tanpa basa basi dia langsung menghampirinya.
“mm... maaf ... mas...” Rora
hendak menyentuh bahu cowo’ itu ketika
spontan cowo’ itu menoleh kearahnya.
“Oh ya, ada yang bisa saya
bantu mbak?”
Kata cowok’ itu persis
seperti pertama bertemu dengan khas suara lembut dan kesopanannya yang membuat Rora semakin “nerves
abiezzz”... Jantungnya berdegup
ta’ beraturan, mungkin jika
terlihat akan lebih jelas betapa groginya Rora saat itu. Padahal,
dulu cowo’ macam apapun tunduk
dan takhluk kepadanya, tapi kali ini...
bahkan jika ia ta’ malu, ia akan
pingsan disitu sangking kedernya...
sebegitukahh?*
sebegitukahh?*
“Mbak, ma’af ??...” ulang
cowok itu mengaburkan lamunan Rora.
“Mm... bisa saya minta waktunya sebentar, maz..” kata “maz” agak Ia
tekan, coz entah kenapa ia jadi ragu dan berat memanggilnya.
“Ah.. bisa... mari”. Cowo’ itu meletakkan gunting rumput dan hendak menuju ke masjid PA. Tapi, baru
selangkah ia berjalan, Rora menghentikannya.
“mmm. ... ma’af... bagaimana
kalau di luar?” Rora memberanikan diri.
“Tapi...”
“Oh, nanti pakai mobil
saya saja” Rora memotong pembicaraan cowo’ itu lantas tersenyum. Mansszz
bgt Rora ja sampai g’ kuat lihat senyumannya itu. Groginya tambah parah. “Ma’af mbak, bukannya saya menolak,
tapi ta’ baik jalan berdua
dengan bukan mukhrim tanpa hajat yang penting” terangnya halus.
“Oh...
balk”. Hanya itu yang sanggup ia
katakan,dia benar-benar takhluk.
……
Sesampainya di serambi masjid, El (nama cowo’ itu) mengambil tempat duduk menyamping agak jauh dari tempat Rora.
T-shirt ketat dan jeans yang Rora kenakan seakan basah dengan keringat. “Oh... ya... saya Rora”.
Rora mengulurkan tangannya. “El,
El Rohmansyah”. Jawab El, bukannya membahas uluran tangan Rora, tapi hanya menangkupkan kedua tangannya
ke depan dada.
Rora paham, sejenak suasana
hening. Tapi, dengan terbuka, Rora
tetap ingiñ mengutarakan niatnya yang
sudah bulat, sebulat telor (itu
mah g’ bulat, tapi lonjong he..he..) ...
maksudnya, sangking bulat tekatnya,
berani g berani ia mengungkapkan semua unek-uneknya, dengan terbata dan bergetar tentunya. Tapi, bukannya kaget mendengar ungkapan-ungkapan
dari gadis jelita di depannya. Bahwa
dia cinta dan suka kepadanya,
dya tersenyum. Lalu, Rora yang mendapat pernyataan itu semakin bingung “mm.... ma’af mbak... Rora.
Bukannya apa, tapi atas dasar
apa anda mencintai saya? Padahal, kita baru saja kenal...” jawabnya
santai, sembari merekahkan senyumnya yang ... ahaaai... semakin membuah Rora takjuk. Pa lagi dengan panggilan “anda”
yang ia sebutkan. Rora menunduk, rasanya, luntur semua bedak yang ia poleskan tadi, bahkan sendi-sendi seakan patah.
“Mbak... maaf boleh
Tanya?”.. cowo’ itu meneruskan,
“Ya... ya...” jawab Rora bergetar
“Anda Islam?” Rora mengangguk. Dari situ El menerangkan hakikatnya Islam dan hokum-hukumnya. Ntah mengapa, diingatkan seperti itu, hati Rora bergetar, ingin sekali dia menangis.
“Dan Islam mengajarkan kita untuk ber-akhlaqul karimah dan senantiasa ingat kepada-Nya..” begitulah
sebagian ceramahnya,.
Fikirannya Rora kini ta’ diniat awal. Dia benar-benar mencermati ceramah
dan El. Bahkan, seringkali ia
meneteskan air mata. Dugusti... batin
Rora.
5 menit... 30 menit dan lebih dan 3 jam
sudah Rora disirami kata-kata halus El.”
“Sudahlah, mbak... yang lalu biarlah berlalu dan mari sekarang kita mulal lembaran baru yang lebih berarti dan tentunya dengan niat yang tulus dan ikhlas, bukan karena paksaan...”
“Sudahlah, mbak... yang lalu biarlah berlalu dan mari sekarang kita mulal lembaran baru yang lebih berarti dan tentunya dengan niat yang tulus dan ikhlas, bukan karena paksaan...”
“sudah, mbak. Waktunya shalat Ashar. Ma’af saya harus adzan dulu...” El melanjutkan. Rora yang merasa “dipamiti”, dia balik pamit dan mengucapkan ma’af dan berterima
kasih berulang-ulang. “Nggak
pa-pa mbak, anggap saja ini sebuah
hidayah dari-Nya, karena mbak telah menemukan jalan yang seharusnya mbak titi sejak awal. Tapi ingat mbak... niat dulu yang terpenting.” Ucap Rasyid
menutup obrolannya. Baru ia
hendak ke dalam. Rora
memanggilnya. El menoleh. .‘maaf boleh, kapan-kapan saya kesini...” ucapnya gemetar, suaranya yang tadinya merdu kini agak “bindheng” akibat
tangisannya tadi.
“Tentu, asal niat mbak baik...” Rora mengangguk.
“Terima kasih. Assalamu’alaikum...”
El menjawabnya sembari melangkah ke dalam masjid. Rora berjalan santai
ke arah mobilnya. lamat-lamat ia dengarkan suara lembut El mengumandangkan
adzan yang semakin membuat hati Rora bergetar hebat.
Ntah kenapa, sejak sore itu, Rora benar-benar jadi berubah. Ia meminta mama papanya mendatangkan
El sebagai pengajar privat agama,
karena ia benar-benar bertekad, bahwa
ia ingin berubah. Karena ia merasa
tenang setiap kali lafadz Allah di
ucapakan dan memang itu yang
pertama ia dengar. Bahkan lama-lama
orangtuanya ikut-ikutan ngaji sorean dengan El.
Alhamdulillah, setelah kurang lebih satu bulan, Rora
sekeluarga bisa benar-benar melaksanakan rukun-rukun Islam yang selama ini mereka abaikan. Bahkan, Rora memutuskan untuk menutup dan
menjaga aurat dan kemolekan tubuh dengan menggunakan gaun muslimah. Itupun atas saran El.
“El saya benar-benar bahagia dengan apa yang saya rasakan ini. Bukan karena materi, tapi karena saya telah ada dijalan-Nya. Saya sangat bahagia..”
Ucap Rora suatu kali usai pengajian
ninya.
“Alhamdulillah, mbak. Semoga Allah tetap menunjukkan hidayah-Nya kepada qita...”
Rora mengamini..
“Syid, mungkin kalau kamu
mengingat kejadian pertama kita bertemu, q sangat malu Syid. Ternyata benar apa
yang kamu katakan bahwa cinta
karena luarnya saja tanpa mempertimbangkan dalamnya, hanya akan mengawali kegelapan hati
dan ta’ kan abadi dan mungkin sebuah persahabatañ akan lebih halus dan segalanya.” Terang Rora sembari
menerawang ke langit-langit luar.
El tersenyum “Ya mbak... dan itu akan berjalan mulus selama
kita menjaga kuncinya yaitu kejujuran”. Tambah Rasyid.
Begitulah akhirnya, Rora
ta’ jadi memikirkan niatnya dulu untuk menjadikan El sebagai sadaranya di waktu
yang ta’ tepat.. dan sampai saat ini pertalian persahabatannya semakin membaik dan
melahirkan Rora sebagai gadis jelita.
Bahkan Rora janji akan menyimpan
dulu rasa sukanya pada El yang dari dulu ta’ pernah luntur, hingga
waktu yang akan menjawab. Luar dalamnya... hanya 1 yang Rora ingat saat itu dia menuliskannya di tembok kamarnya...” Rora ♥ El: Di Masjid Hatiku terkait...”.
nb : tulisan ini diikut sertakan dalam event ""elfrize"
nb : tulisan ini diikut sertakan dalam event ""elfrize"
Wah, subhanallah sekali. Semoga berubah semata-mata karena Allah, bukan cinta :)
BalasHapusMakasih. Ditunggu ya pengumumannya :)
Ada award nih sekaligus pengumuman Elfrize. Cek, ya, kawan-kawan :)
BalasHapushttp://elfarizi.wordpress.com/2012/10/30/akhirnya-ini-dia-pemenangnya/