BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
LATAR BELAKANG MASALAH
Allah subhanahu wa ta’ala
al-Hakiem (yang maha bijaksana) senantiasa menjaga hak-hak manusia dan menjaga
kehidupan mereka dari kezholiman dan kerusakan. Syariat islam pun ditetapkan
untuk menjaga dan memelihara agama, jiwa, keturunan, akal dan harta yang
merupakan adh-Dharuriyat al-Khamsu (lima perkara mendesak pada
kehidupan manusia). Sehingga setiap orang yang melanggar salah satu masalah ini
harus mendapatkan hukuman yang ditetapkan Syari’at yang disesuaikan dengan
pelanggaran tersebut.
Salah satunya adalah penegakan khudud
yang menjadi satu keistimewaan ajaran islam dan merupakan bentuk kesempurnaan
rahmat dan kemurahan Allah subhanahu wa ta’ala kepada makhluknya.
Syaikhul Islam ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan:
“Khudud berasal dari rahmat untuk makhluk dan kebaikan
mereka. Oleh karena itu, sudah sepatutnya orang yang menghukum manusia Karena
dosa-dosa mereka bertujuan dalam melakukannya untuk kebaikan dan rahmat kepada
mereka, sebagaimana tujuan orang tua membina anak-anaknya dan dokter dalam
mengobati orang yang sakit.”
1.2.
RUMUSAN MASALAH
Mengacu pada latar belakang diatas,
maka rumusan masalah makalah ini sebagai berikut :
1. Apa pengertian dari Khudud ?
2. Apa yang dimaksud dengan jaraimu al-khudud ?
3. Apa
hikmah dari Khudud ?
4. Apa
syarat penetapan Khudud ?
5. Apa hukum
menegakkan hokum Khudud ?
6. Siapa
pihak yang berwenang melaksanakan khudud ?
7. Apakah
laki-laki dan perempuan sama dalam Khudud ?
8. Apa saja
hadits-hadist tentang Khudud ?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.
PENGERTIAN
KHUDUD
Khudud adalah kosa kata dalam bahasa
Arab yang merupakan bentuk jama’ (plurals) dari kata had yang asal artinya
pembatas antara dua benda. Sehingga dinamakan had karena mencegah bersatunya
sesuatu dengan yang lainnya. Ada juga yang menyatakan bahwa kata had berarti
al-man’u (pencegah), sehingga dikatakan Khudud Allah adalah perkara-perkara
yang Allah larang melakukan dan melanggarnya.
Adapun menurut syar’i, istilah khudud adalah hukuman-hukuman kejahatan
yang telah ditetapkan oleh syara’ untuk mencegah dari terjerumusnya seseorang
kepada kejahatan yang sama dan menghapus dosa pelakunya.
2.2.
DELIK
HUKUMAN KEJAHATAN (Jarimah al-Khudud)
Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya sudah menetapkan hukuman-hukuman tertentu
bagi sejumlah tindak kejahatan tertentu yang disebut jaraimu al-khudud
(delik hukuman kejahatan).
Yaitu meliputi kasus; perzinahan, tuduhan berzina tanpa bukti yang
akurat, pencurian, mabuk-mabukan, muharabah
(pemberontakan dalam negara Islam dan pengacau keamanan), murtad, dan perbuatan
melampui batas lainnya.
Dengan demikian Khudud mencakup 7 jenis:
1.
Had zina (hukuman Zina)
ditegakkan untuk menjaga keturunan dan nasab.
2.
Had al-Qadzf (hukuman orang yang
menuduh berzina tanpa bukti) untuk menjaga kehormatan dan harga diri
3.
Had al-Khamr (Hukuman orang yang
minum Kamer (minuman memabukkan) untuk menjaga akal
4.
Had as-Sariqah (Hukuman mencuri)
untuk menjaga harta
5.
Had al-Hiraabah (hukuman para
perampok) untuk menjaga jiwa, harta dan harga diri kehormatan.
6.
Had al-Baghi (Hukuman
pembangkang) untuk menjaga agama dan jiwa
7.
Had ar-Riddah (hukuman orang
murtad) untuk menjaga agama.
2.3.
HIKMAH
PENSYARIATAN KHUDUD
Khudud disyaria’tkan untuk kemaslahan hamba dan memiliki tujuan yang
mulia. Diantaranya adalah:
a.
Siksaan bagi orang yang berbuat
kejahatan dan membuatnya jera. Apabila ia merasakan sakitnya hukuman ini dan
akibat buruk yang muncul darinya maka ia akan jera untuk mengulanginya kembali
dan dapat mendorongnya untuk istiqamah dan selalu taat kepada Allah subhanahu
wa ta’ala.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
ä-Í$¡¡9$#ur
èps%Í$¡¡9$#ur (#þqãèsÜø%$$sù $yJßgtÏ÷r&
Lä!#ty_ $yJÎ/
$t7|¡x.
Wx»s3tR
z`ÏiB
«!$# 3 ª!$#ur îÍtã
ÒOÅ3ym
ÇÌÑÈ
“Laki-laki yang mencuri
dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi
apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa
lagi Maha Bijaksana.” (Qs. al-Maidah/5:38)
b.
Membuat jera manusia dan mencegah
mereka terjerumus dalam kemaksiatan, oleh karena itu Allah memerintahkan untuk
mengumumkan had dan menerapkannya dihadapan manusia.
èpuÏR#¨9$#
ÎT#¨9$#ur
(#rà$Î#ô_$$sù
¨@ä. 7Ïnºur
$yJåk÷]ÏiB sps($ÏB ;ot$ù#y_ ( wur /ä.õè{ù's?
$yJÍkÍ5
×psùù&u Îû
ÈûïÏ
«!$# bÎ)
÷LäêZä.
tbqãZÏB÷sè?
«!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# ( ôpkô¶uø9ur $yJåku5#xtã ×pxÿͬ!$sÛ z`ÏiB
tûüÏZÏB÷sßJø9$#
ÇËÈ
“Dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan
orang-orang yang beriman.” (Qs. an-Nur/24:2)
Syeikh ibnu Utsaimin t menyatakan bahwa diantara hikmah dari khudud
adalah membuat jera pelaku untuk tidak mengulangi dan orang lain agar tidak terjerumus
padanya dan pensucian dan penghapusan dosa.
c.
Khudud adalah penghapus dosa dan
pensuci jiwa pelaku kejahatan tersebut. Hal ini ditunjukkan oleh hadits Ubadah
bin Shamit radhiallahu ‘anhu, ia bertutur:
Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata dan
disekeliling beliau ada sekelompok sahabatnya, “Berjanji setialah kamu
kepadaku, untuk tidak akan mempersekutukan Allah dengan sesuatu apa pun,
tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak membunuh anak-anak kamu dan
tidak berbuat dusta sama sekali serta tidak bermaksiat dalam hal yang ma’ruf.
Siapa di antara kamu yang menepati janjinya, niscaya Allah akan
memberikannya pahala. Tetapi siapa saja yang melanggar sesuatu darinya, lalu diberi
hukuman didunia maka hukuman itu adalah sebagai kafarah (penghapus dosanya),
dan barangsiapa yang melanggar sesuatu darinya lalu ditutupi olah Allah
kesalahannya (tidak dihukum), maka terserah kepada Allah; Kalau Dia menghendaki
diampuni-Nya kesalahan orang itu dan kalau Dia menghendaki disiksa-Nya.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari I/ 64 no: 18, Muslim 3/1333 no:
1709 dan Nasa’i 7/148)
d.
Menciptakan suasana aman dalam
masyarakat dan menjaganya.
e.
Menolak keburukan, dosa dan
penyakit dari masyarakat, karena kemaksiatan apabila telah merata dan menyebar
pada masyarakat maka akan diganti Allah dengan kerusakan dan musibah serta
dihapusnya kenikmatan dan ketenangan. Untuk menjaga hal ini maka solusi terbaiknya
adalah menegakkan dan menerapkan khudud. Allah subhanahu wa ta’ala
berfirman:
tygsß
ß$|¡xÿø9$#
Îû
Îhy9ø9$#
Ìóst7ø9$#ur $yJÎ/
ôMt6|¡x. Ï÷r&
Ĩ$¨Z9$# Nßgs)ÉãÏ9 uÙ÷èt/ Ï%©!$#
(#qè=ÏHxå
öNßg¯=yès9 tbqãèÅ_öt
ÇÍÊÈ
“Telah nampak kerusakan
di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supaya Allah
merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka
kembali (ke jalan yang benar).” (Qs.
ar-Rûm/30:41)
Sehingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَحَدٌّ
يُقَامُ فِيْ الأَرْضِ أَحَبُّ إِلَى أَهْلِهَا مِنْ أَنْ يُمْطَرُوْا ثَلاَثِيْنَ
صَبَاحًا
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu
bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Satu hukuman
kejahatan yang ditegakkan di muka bumi lebih penduduknya daripada mereka
diguyurhujan selama empat puluh hari.” (Hasan ; Shahih Ibnu Majah no; 2057, Ibnu Majah 2/848 no :
2538, Nasa’I 8/76).
2.4.
SYARAT
PENERAPAN AL-KHUDUD
Penerapan
al-Khudud tidak dilakukan tanpa 4 syarat:
1.
Pelaku
kejahatan adalah seorang mukallaf yaitu baligh dan berakal.
2.
Pelaku
kejahatan tidak terpaksa dan dipaksa.
3.
Pelaku
kejahatan mengetahui pelarangannya.
4.
Kejahatannya
terbukti ia yang melakukannya tanpa ada syubhat. Hal ini bisa dibuktikan dengan
pengakuannya sendiri atau dengan bukti persaksian orang lain.
2.5.
HUKUM
MENEGAKKAN HUKUMAN KHUDUD
Diwajibkan kepada wali umur
(penguasa) untuk menegakkan dan menerapkan hukuman Had kepada seluruh rakyatnya
berdasarkan dalil dari al-Qur`aan, as-Sunnah dan Ijma’ serta dituntut qiyas
yang shahih.
Dalil al-Qur`aan diantaranya adalah
firman Allah subhanahu wa ta’ala:
ä-Í$¡¡9$#ur èps%Í$¡¡9$#ur (#þqãèsÜø%$$sù $yJßgtÏ÷r& Lä!#ty_ $yJÎ/ $t7|¡x. Wx»s3tR z`ÏiB «!$# 3 ª!$#ur îÍtã ÒOÅ3ym ÇÌÑÈ
“Laki-laki yang
mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai)
pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Qs. al-Maidah/5:38)
Dalil as-Sunnah diantaranya adalah hadits Ubadah bin Shamit
yang menuturkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Tegakkanlah hukuman-hukuman (dari) Allah pada kerabat dan
lainnya, dan janganlah kecamanan orang yang suka mencela mempengaruhi kamu
dalam (menegakkan hukum-hukum) Allah.” (Hasan: Shahih Ibnu Majah No. 2058 dan Ibnu Majah No. 2540)
Demikian juga ulama kaum muslimin sepakat atas hal ini.
Tidak dibenarkan syafaat
(rekomendasi) pembebasan hukuman, bila sudah dimeja hijaukan
Apabila perkaranya telah masuk ke pemerintah atau telah
dimeja hijaukan maka dilarang adanya syafaat (rekomendasi) pembebasan atau
pengurangan hukuman. Juga pemerintah tidak boleh menerima syafaat dalam hal
ini. Hal ini dijelaskan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha yang berbunyi:
“Dari Aisyah radhiallahu ‘anha bahwa
kaum Quraisy sangat memusingkan mereka ihwal seorang perempuan suku Makhzum
yang telah melakukan kasus pencurian. Mereka mengatakan, “Siapa yang bisa
berbicara dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (yaitu mengemukakan permintaan
supaya perempuan itu dibebaskan)?” Tidak ada yang berbicara hal itu, kecuali
Usamah kesayangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Beliau
menjawab, “Adakah engkau hendak menolong supaya orang bebas dari hukuman
Allah?” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri lalu berkhutbah,
“Hai sekalian manusia, orang-orang sebelum kamu menjadi sesat hanyalah
disebabkan apabila seorang bangsawan mencuri, mereka biarkan (tidak
melaksanakan hukuman kepadanya. Demi Allah, kalaulah seandainya Fathimah binti
Muhammad mencuri, niscaya Muhammad memotong tangannya.” (Muttafaqun ’alaih)(11)
Dalam hadits yang mulia ini
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingkari orang yang member
syafaat dalam hukuman had setelah sampai ke pemerintah. Adapun bila belum
sampai maka diperbolehkan.
Syaikhul Islam ibnu Taimiyah
rahimahullah menuturkan:
“Tidak boleh menggagalkan (hukuman
had) dengan syafaat, hadiah dan yang lainnya dan tidak boleh memberikan syafaat
padanya. Siapa yang menggagalkannya karena hal ini –padahal ia mampu
menerapkannya- maka semoga laknat Allah, malaikat dan semua manusia menimpanya”.
2.6.
PIHAK
YANG BERWENANG MELAKSANAKAN KHUDUD
Tak
ada yang berwenang menegakkan khudud, kecuali imam, kepala negara, atau
wakilnya (aparat pemerintah yang mendapat tugas darinya). Sebab, di masa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, Beliaulah yang melaksanakannya, demikian pula para
Khalifahnya sepeninggal Beliau. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
pernah juga mengutus Unais radhiallahu ‘anhu untuk melaksanakan hukum
rajam, sebagaimana dalam sabdanya shallallahu ‘alaihi wa sallam:
وَاغْدُ يَا أُنَيْسُ إِلَى امْرَأَةِ هَذَا فَإِنْ
اعْتَرَفَتْ فَارْجُمْهَا
“Wahai
Unais, berangkatlah menemui isteri orang itu, jika ia mengaku (berzina), maka
rajamlah!” (HR al-Bukhaari no. 2147)
Demikian
juga memerintahkan para sahabat untuk merajam Maa’iz, dengan menyatakan:
اذْهَبُوا بِهِ فَارْجُمُوهُ
“Bawalah
ia dan rajamlah.”
(HR al-Bukhaari no. 6815)
Demikian juga karena penentuan
hukuman had dibutuhkan ijtihad dan tidak aman dari kezholiman, sehingga wajib
dilaksanakan oleh imam atau wakilnya. (13)
2.7.
LAKI-LAKI
DAN PEREMPUAN SAMA DALAM KHUDUD?
Wanita dalam penerapan hukuman had
sama seperti lelaki, karena pada asalnya semua yang ditetapkan syari’at untuk
lelaki juga berlaku pada wanita sampai ada dalil yang mengkhususkannya. Hal ini
umum berlaku dalam ibadah, mu’amal ataupun dalam hukuman. Namun para ulama
memberikan 3 pengecualian, yaitu:
a. Wanita dihukum dengan duduk sedangkan
lelaki dengan berdiri.
b. Pakaian wanita diikat sedangkan
lelaki tidak.
c. Jangannya di tahan (diikat) hingga
tidak terbuka auratnya, sedangkan lelaki tidak. (14)
Syeikh ibnu Utsaimin rahimahullah
menyatakan: Inilah yang membedakan wanita dengan laki-laki dalam had karena
kebutuhan menuntutnya. Kalau tidak maka pada asalnya wanita sama dengan lelaki.
2.8.
HADITS-HADITS
AHKAM TENTANG HAD
1. HAD ZINA
عن عبادة بن الصامت رضي الله عنه قال :
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : خذوا عنى فقد جعل الله لهن سبيلا , البكر
بالبكر جلد مائة ونفي سنة , والثيب بالثيب جلد مائة والرجم . ( رواه مسلم )
Artinya:
“Diriwayatkan dari Ubadah bin Shamit
r.a, dia berkata: “Rasulullah SAW. telah bersabda: “Ikutilah perintahku !
Ikutilah perintahku ! Sesungguhnya Allah telah menetapkan cara hukuman zina
bagi kaum wanita, yaitu wanita yang belum menikah (yang berzina) dengan lelaki
yang belum menikah mereka terkena seratus kali pukulan dan diasingkan selama
satu tahun, sedangkan wanita yang telah menikah (yang berzina) dengan lelaki
yang telah menikah, maka mereka terkena hukuman seratus kali pukulan dan
rajam”. (HR. Muslim).
Kandungan Hadits
Dari hadits di atas dapat dipahami
bahwa hukuman penzina itu, baik laki-laki maupun perempuan, ada 2 macam, yaitu:
1) Hukuman penzina yang belum menikah
adalah hukuman jilid dan pengasingan selama satu tahun.
2) Hukuman penzina yang telah menikah
dengan hukuman jilid dan rajam.
2. HAD PENCURIAN
عن عائشة رضي الله عنهما أن قريشا أهمهم شأن المرأة المخزمية
التى سرقت فقالوا : من يكلم فيها رسول الله صلى الله عليم وسلم فقالوا : ومن
يجترىء عليه إلا أسامة حب رسول الله صلى الله عليه وسلم فكلمه أسامة , فقال رسول
الله صلى الله عليم وسلم : أتشفع فى حد من حدود الله ثم قام فاختبط. فقال : أيها
الناس إنما أهلك الذين قبلكم أنهم كانوا إذا سرق فيهم الشريف تركوه وإذا سرق فيهم
الضعيف أقاموا عليه الحد وأيم الله , لو أن فاطمة بنت محمد سرقت لقطعت يدها. (رواه
الشيخان)
Artinya :
“Diriwayatkan dari Sayyidatina Aisyah r.a., katanya,
“Sesungguhnya kaum Quraisy merasa bingung dengan masalah seorang wanita dari
kabilah Makhzumiah yang telah mencuri. Mereka berkata, “Siapakah yang berani
memberi tahu masalah ini kepada Rasulullah SAW. Dengan serentak mereka
menjawab, “Kami rasa hanya Usamah saja yang berani memberitahukannya, karena
dia adalah kekasih Rasulullah SAW. Maka Usamah pun berangkat untuk memberi tahu
kepada Rasulullah SAW. Lalu Rasulullah SAW bersabda: “Jadi, maksud kamu adalh
memohon syafaat (agar terbebas) dari ketetapan Allah ? Kemudian beliau berdiri
dan berpidato. Wahai sekalian manusia, sesungguhnya yang menyebabkan binasanya
umat-umat sebelum kamu adalah dikarenakan apabila mereka mendapati orang
terhormat yang mencuri, mereka membiarkannya. Akan tetapi, apabila mereka
mendapati orang lemah di antara mereka yang mencuri, maka mereka menjatuhkan
hukuman kepadanya. Demi Allah, sekiranya Fatimah binti Muhammad yang mencuri,
maka aku sendirilah yang akan memotong tangannya. (HR. Asy-Syaikhani).
Kandungan Hadits
1) Larangan memohon pembebasan dari
hukuman dan pengingkaran terhadap orang yang memohonkan pembebasan tersebut.
2) Hukuman orang yang ingkar dalam
pinjam meminjam sama dengan hukuman orang yang mencuri, yakni dipotong tangan.
3) Keharusan bersikap adil dan
memperlakukan hak manusia secara sama dalam hukum dan sanksinya, baik bagi
orang kaya maupun orang miskin, orang yang terhormat maupun orang rendahan.
4) Perlakuan tidak adil dalam penerapan
hukum di antara sesama manusia akan menyebabkan kehancuran dan kesengsaraan dunia
dan akhirat.
5) Ketetapan potongan tangan bagi
pencuri laki-laki maupun perempuan.
6) Kebolehan bersumpah dan bahkan
dianjurkan, walaupun tidak diminta, dalam masalah-masalah yang penting seperti
masalah yang tertera dalam hadits di atas.
7) Membolehkan berandai-andai dalam
suatu hal yang akan datang dengan ungkapan “seandainya”, tetapi tidak dengan
ungkapan yang mendatangkan kepastian.
3. HAD PEMINUM KHAMAR
عن أنس بن مالك رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم أتي
برجل قد شرب الخمر فجلده بجريدتين نحو أربعين , قال : وفعله أبو بكر , فلما كان
عمر استشار الناس, فقال عبد الرحمن بن عوف : أخف الحدود ثمانون , فأمر به عمر رضي
الله عنه. ( متفق عليه ).
Artinya :
“Diriwayatkan dari Anas bin Malik r.a., katanya: “Sesungguhnya
seorang lelaki yang meminum arak telah di hadapkan kepada Nabi SAW., kemudian
beliau memukulnya dengan dua pelepah kurma sebanyak empat puluh kali. Anas
berkata lagi, “hal tersebut juga dilakukan oleh Abu Bakar”. Ketika Umar meminta
pendapat dari orang-orang (mengenai hukuman tersebut), Abdurrhman bin Auf
berkata, “Hukuman yang paling ringan (menurut ketetapan Al-Qur’an) adalah
delapan puluh kali pukulan”. Kemudian Umar pun menyuruhnya demikian”.( HR. Muttafaq ‘Alaih).
Kandungan Hadits
1) Pendapat mayoritas ulama menyatakan
keberadaan hukuman (al hadd) dalam masalah khamar.
2) Hukuman yang diberlakukan dalam
masalah khamar pada masa Nabi SAW adalah 40 kali pukulan. Pemberlakuan hukuman
pada masa Nabi SAW ini diikuti oleh Abu Bakar.
3) Pada masa Umar, berdasarkan
musyawarah, hukuman tersebut menjadi 80 kali pukulan.
4) Kebolehan berijtihad dalam berbagai
masalah ijtihad dan memusyawarahkan masalah itu di antara para ulama. Demikian
itulah karakter para pencari kebenaran. Mereka tidak bersikap diktator
sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang yang membanggakan dan menyombongkan
diri yang tidak mau menerima kenyataan yang benar.
5) Terjadi perbedaan pendapat dalam
memberlakukan hukuman peminum khamar, apakah 80 kali atau 40 kali pukulan,
yaitu:
A. Imam Malik, Imam Ahmad, Imam Hanafi,
Ats-Tsauri, dan para ulama pengikutnya berpendapat bahwa hukuman tersebut
adalah 80 kali pukulan dengan dasar pijakan kesepakatan para sahabat yang
mengadakan musyawarah dengan Umar.
B. Imam Syafi’ie berpendapat bahwa
hukuman tersebut adalah 40 kali pukulan dengan dasar pijakan hadits di atas.
C. Ibnu Taimiyah berpendapat hukuman
yang benar adalah pendapat Imam Syafi’ie yang didasarkan pada hadits di atas.
Namun demikian, bagi seorang Imam diperbolehkan berijtihad untuk menambah lebih
dari 40 kali pukulan sampai 80 kali pukulan. Akan tetapi, penambahan tersebut
tidak bersifat wajib secara mutlak, melainkan diserahkan kepada Imam untuk
mempertimbangkan kemaslahatannya, sebagaimana dia juga dapat berijtihad dalam
cara-cara pemukulannya.
BAB III
PENUTUP
3.1.
KESIMPULAN
Khudud adalah hukuman-hukuman kejahatan yang telah ditetapkan oleh syara’
untuk mencegah dari terjerumusnya seseorang kepada kejahatan yang sama dan
menghapus dosa pelakunya.
Khudud mencangkup 7 jenis, yaitu zina, al-qadzf, al-khamr, as-sariqah,
al-hiraabah, al-baghi, dan ar-riddah.
Khudud diwajibkan kepada pemimpin kepada sluruh warganya. Laki-laki dan
perempuan sama dalam khudud, kecuali 3 dasar yang telah ditetapkan oleh para
ulama.
3.2.
KRITIK
DAN SARAN
Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok
bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya,
kerena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada
hubungannya dengan judul makalah ini.
Penulis banyak berharap para pembaca yang budiman memberikan kritik dan
saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan dan
penulisan makalah di kesempatan – kesempatan berikutnya.
Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca
yang budiman pada umumnya.
DAFTAR PUSTAKA