Logo Ngawi

Rabu, 15 Agustus 2012

CERPEN ISLAMI


AURORA: DI MASJID HATIKU TERKAIT

Aurora Aurum Ayuverda, serangkaian nama yang ta’ asing lagi buat siswa-siswi SMAN 1 Garuda, Bandung. Yach, benar... gadis yang biasa dipanggil “Rora” ini memang cewek ter “top” Selingkungan schoolnya. Bahkan di luar sekolahnya juga, bukan karena canggih “brain”nya, melainkan karena pesona luarnya yang mampu menyibir cowok-cowok disekitarnya. Buih-buih,kebayangkan cantiknya saja.
................................

Dim? dicari tuh!” Nasya, teman sekelas Dimas mengagetkannya.
“Apaan sih, ganggu aja!”
“Tuch, dicari’in kepiting?”
“Kepiting siapa?”
“Dah, keluar aja, di taman katanya!” Nasya langsung mendorong Dimas keluar... ‘n ternyata. Itu cuman akal-akalannya si Nasya ja buat ngedeketin Rora... tadinya ta’ begitu berani karena ada Dimas, makanya dia bo’ong.
“PrincesAurora....” Dengan suara yang dibuat selembut-lembutnya, Nasya menghampiri Rora yang sedang asyik mencontek tugas Match punya shabatnya.
Rora ta’ merespon.
“Oh princes... tambah hari, tambah cantik saja...”, mulai merayu sambil menghadap pas di depan Rora ‘n ta’ sengaja Nasya mengenggol tangan Rora. spontan tulisannya berantakan.
“Brakkk! ! !“
“Heh! Lo tuch lihat g’ sih... berantakan nih tulisan gue!”
“Aduh princes. Sory dech. Sony....”
“Sorry-sony, makan tuch sorry!”
Tanpa basa basi Rora langsung cabut tanpa menoleh...
“Hahaiii... Rasain lu! Mangkanya, jadi orang jangan lebay... sok keren lagi! Ngaca dong lu!” semprot Gisca, teman Rora.
“Diem lu! Cerewet!” tiba-tiba Dimas datangmengetahui Dimas datang, Nasya langsung cabut.
“Hey-hey-hey ………..... Mau lan kemana lo! Pembohong lu!” langsung, tangannya diseret keluar oleh Dimas. Teman-teman yang lain hanya geleng kepala melihat tingkah mereka yang seperti anak kecil itu!’
………………………………

            “RA, dipanggil babe lu tuh!”
            “Pak Andre maksud lho ?”
            “Ya yalah… siapa lagi.” Rora mengernyitkan dahinya. “Tumben… lo bohong ya!” Rora masih ta’ percaya… eh … ni anak dibilangin… bwat apa gue bohong ma lo! Ga da untungnya juga!” Rora malah bengong. “Hey! Gue seriuz nih… dah, sana cepet! Keburu dapet semprotan lo!” Gisca langsung mendorong Rora keluar.
……………………….

“Permisi Pak.” Pelan-pelan Rora masuk ruang kepsek. “Oh... mari... silahkan duduk Ra”. Pak Andre, kepsek sekolahnya Rora langsung menyambutnya. Pak Andre si Duren di kenal kepsek terkiller, tapi jika di luar sekolah, terkenal genitnya. “Maaf, bapak memanggil saya?” “Oh ya, benar!”. “Ada apa pak? Kok tumben... padahal, saya kan absennya nihil semua pak?” Rora agak canggung, karena biasanya jika dipanggil, pasti karena absennya yang sering alpha dan bolos. “Oh... tidak”, bukan karena itu...” Pak Andre Iangsung memotong. “Jadi………..“ “Jadi gini, kemarin kan kelas-kelas sudah ditarik sumbangan se-ikhlasnya untuk dana bantuan Yayasan Panti Asuhan Al-hidayah,dan dari sekolah rencananya yang akan menyerakannya adalah perwakilan murid-muridnya, dan kemarin guru- guru memutuskan kamu yang akan menyerahkan dana tersebut dengan dibantu Dimas, ketua OSIS...”
“Apa..,apa pak??? Saya???” Rora benar-benar kaget. Karena dia paling malez dan alergi jika sudah berhadapan dengan PA. Jangankan ke PA, mendengar saja telinganya sudah gatal. Karena gengsi dan dia fikir PA itu adalah tempatnya orang-orang miskin. “Ya, kamu... ada apa? ko’ kelihatannya kaget gitu...” Pak Andre meyakinkan “Apa nggak ada yang lain, pak?”
“Ini sudah kesepakatan semua pihak, Ra, dan kami harap kamu bisa melaksanakan amanah itu...” mau tak mau Rora meng-ya-kan amanah itu. “Baik Pak.. .“ jawabnya berat. “Nah... begitu dong. Oya, nanti sehabis sekolah jangan pulang dulu ya, biar orang tuamu nanti saya yang mengabari.”
“Siang ini pak???”
“Ya... karena jadwal selanjutnya masih banyak nanti kamu sama Dimas langsung berangkat ke sana, biar Pak Doni yang mengantarkannya.” Jelas Pak Andre selanjutnya. Rora menelan ludah dan hanya manggut-manggut berat. Dalam hatinya benar-benar berontak. “Ya sudah, sekarang kamu boleh kembali ke kelas, nanti biar Dimas saya yang memberitahu tentang itu, terima kasih ya Ra!” Rora beranjak dan menyalami Pak Andre, “Ya pak”.
“What?? Ke Panti Asuhan?? Kamu Ra???” pagi ini, teman temannya Rora benar-benar gempar dengan berita yang dibawakan Rora.
“Lo serius Ra???” Rica masih tak percaya tapi yang ditanya malah bengong.
“Yza ampun Ra???!! padahal lo kan paling alergi sama PA!”
“Jangankan masuk ke areanya, denger aja lo dah malez bangeh_
“Wah.. .wah... ada gelar baru nih..”
Teman-temannya Rora benar-benar gempar
“Diammmm!” Rora semakin pusing mendengar ocehan-ocehan teman-temannya happp! Spontan, semua langsung diam.
………………
Pagi ini, jam pelajaran di lalui Rora semakin membosankan, Rora benar-benar suntuk dan jam pelajaran usai. Detik-detik menjenuhkan benar-benar akan dilalui Rora.
Dengan langkah malas, Rora terpaksa melangkahkan kakinya ke dalam mobil pribadi sekolah bersama Dimas dan diselingi tawa, gurau temannya.
“Lu knapa sih ra?!! Dari tadi gue perhatiiin cemberut trus...” Dimas yang dari tadi diam, menyapa Rora. Tapi Rora ta’ menjawab.
“Diem lu! Berisik!” sembur Rora. Dimas diam, dan sampai di PA A1-Hidayah ta’ da obrolan sama sekali diantara mereka.
…….
Setelah acara serah terima bantuan dan penyambutan dan PA A1-Hidayah, Rora keluar dan ruang tamu dan dia sejenak melihat sekitar yayasan, sekedar melepas jenuh, karena baru kali ini dia menginjakkan kakinya ke PA dan dan dia berfikir untuk pertama dan rerakhir setelah menemukan sebuah tempat sejuk, dia duduk ringan. Lama kelamaan, dia mendengar sayup-sayup suara seseorang dari arah masjid PA tersebut seperti bersyair. Penasaran dia langsung mendekatinya,sangat indah suara itu. Fikir Rora. Baru kali ini dia mendengarkan suara itu dan perlahan ia melangkahkan kakinya ke serambi masjid. “Teryata cowok”.... Desisnya “Oh god.... Ganteng banget cowok itu.” Rora masih tak berkedib,karena asik melihat cowok tersebut. Ia ta’ sadar menginjak pecahan keramik, spontan iamenjerit “Awww! ! !“ cowok yang diperhatikan dan tadi kaget dan menghentikan kegiatannya dan langsung keluar dari masjid.
“Assalamu’alaikum
... mbak... ada yang bisa dibantu?” Sapa cowok itu dan Rora semakin terbengong”.. Melihatnya... “Ma’af... mbak... ada yang bisa dibantu?” Cowok itu mengulangi pertanyaan,Rora kaget. “Oh... tidak-tidak terima kasih...” Rora langsung pergi, sambil menahan sakit akibat goresan pecahan keramik.
…………
Setelah kejadian itu, entah kenapa Rora jadi terus teringat wajah cowok di masjid PA   Al-Hidayah. Dia juga jadi pendiam, ga’ seperti biasanya, yang difikirannya hanya baying-bayang wajah cowok itu dan anehnya, dia ingin kembali ke PA tersebut. Padahal itu adalah salah satu tempat yang ia benci. Melihat Rora seperti itu, Gisca CS mendekatinya.
“Ra, lu kenapa sih... ko’ jadi anteng gitu???” Gisca mengawali pembicaraannya.
“Ya... ra... lu ko’ jadi ga’ asyik gini...” sambung yang lainnya, protes.
“Gue juga g’ tau semenjak gue ngliat cowok di PA itu, jadi keingetan terus,” jawab Rora terang-terangnya.
“Whattt????... oh god... jadi lu falling in love nich ra! !“ Gisca dan yang lain melotot.
“Sumpah, dia ganteng banget...
baru kali ini gue lihat cowok seperti itu... putihnya, halusnya, suaranya….”
“Wah ... gawat.... Benar-benar gawat ni gis!”
Shobat kita jatuh cintrong... oh no!.....”
Spontan, mereka tertawa renyah, tak terkecuali Rora.
…..
Semakin hari, Rora semakin gila,bawaannya hanya ngelamun, menyendiri dan hal-hal aneh yang ga’ pernah ada di sifat Rora sebelumnya.
“Wah.. lu g’ bisa kaya’ gini terus Ra!” Gisca CS membubarkan lamunannya.
“Ya nich dan pokoknya, gue harus ngungkapin perasaan gue ke cowok itu!”jelas Rora tegas.
“Lo serius ra!! Lo kan belon kenal do’inya!” Rica kaget mendengar pernyataan Rora, ta’ terkecuali cs yang lainnya.
“Lagian, lu kan cewek Ra!”
“Ah.... Masa bodo! Daripada gue kaya gini terus. Lagian ini bukan tahun 2000-an lagi, apalagi 19-an dah 2011 brow! Zamannya dah berubah ... sekarang, gantian cewek dong yang ngungkapin ke cowok, masak cowok terus!”
Ucapnya tegas, mendengar pernyataan bulat dan Rora, teman-temannya hanya bisa geleng kepala. Benar-benar di luar adat. Masa cewe’ nembak cowok? Belom kenal lagi...
“Yap! Pokoknya, aku harus kesana hari ini!” katanya mantab sambil berlari keluar.
…………..
Benar saja, hari ini dia benar-benar datang ke PA tersebut dan syukurnya dia langsung ketemu cowok yang selama minggu-minggu ini membuatnya ta’ bisa tidur. Cowok itu sedang memotongi rumput di taman. Tanpa basa basi dia langsung menghampirinya.
“mm... maaf ... mas...” Rora hendak menyentuh bahu cowo’ itu ketika spontan cowo’ itu menoleh kearahnya.
“Oh ya, ada yang bisa saya bantu mbak?”
Kata cowok’ itu persis seperti pertama bertemu dengan khas suara lembut dan kesopanannya yang membuat Rora semakin “nerves abiezzz”... Jantungnya berdegup ta’ beraturan, mungkin jika terlihat akan lebih jelas betapa groginya Rora saat itu. Padahal, dulu cowo’ macam apapun tunduk dan takhluk kepadanya, tapi kali ini... bahkan jika ia ta’ malu, ia akan pingsan disitu sangking kedernya...
sebegitukahh?*
“Mbak, ma’af ??...” ulang cowok itu mengaburkan lamunan Rora.
“Mm... bisa saya minta waktunya sebentar, maz..” kata “maz” agak Ia tekan, coz entah kenapa ia jadi ragu dan berat memanggilnya.
“Ah.. bisa... mari”. Cowo’ itu meletakkan gunting rumput dan hendak menuju ke masjid PA. Tapi, baru selangkah ia berjalan, Rora menghentikannya.
“mmm. ... ma’af... bagaimana kalau di luar?” Rora memberanikan diri.
“Tapi...”
“Oh, nanti pakai mobil saya saja” Rora memotong pembicaraan cowo’ itu lantas tersenyum. Mansszz bgt Rora ja sampai g’ kuat lihat senyumannya itu. Groginya tambah parah. “Ma’af mbak, bukannya saya menolak, tapi ta’ baik jalan berdua dengan bukan mukhrim tanpa hajat yang penting” terangnya halus.
“Oh... balk”. Hanya itu yang sanggup ia katakan,dia benar-benar takhluk.
            ……
Sesampainya di serambi masjid, El (nama cowo’ itu) mengambil tempat duduk menyamping agak jauh dari tempat Rora. T-shirt ketat dan jeans yang Rora kenakan seakan basah dengan keringat. “Oh... ya... saya Rora”. Rora mengulurkan tangannya. “El, El Rohmansyah”. Jawab El, bukannya membahas uluran tangan Rora, tapi hanya menangkupkan kedua tangannya ke depan dada.
Rora paham, sejenak suasana hening. Tapi, dengan terbuka, Rora tetap ingiñ mengutarakan niatnya yang sudah bulat, sebulat telor (itu mah g’ bulat, tapi lonjong he..he..) ... maksudnya, sangking bulat tekatnya, berani g berani ia mengungkapkan semua unek-uneknya, dengan terbata dan bergetar tentunya. Tapi, bukannya kaget mendengar ungkapan-ungkapan dari gadis jelita di depannya. Bahwa dia cinta dan suka kepadanya, dya tersenyum. Lalu, Rora yang mendapat pernyataan itu semakin bingung “mm.... ma’af mbak... Rora. Bukannya apa, tapi atas dasar apa anda mencintai saya? Padahal, kita baru saja kenal...” jawabnya santai, sembari merekahkan senyumnya yang ... ahaaai... semakin membuah Rora takjuk. Pa lagi dengan panggilan “anda” yang ia sebutkan. Rora menunduk, rasanya, luntur semua bedak yang ia poleskan tadi, bahkan sendi-sendi seakan patah.
“Mbak... maaf  boleh Tanya?”.. cowo’ itu meneruskan, “Ya... ya...” jawab Rora bergetar “Anda Islam?” Rora mengangguk. Dari situ El menerangkan hakikatnya Islam dan hokum-hukumnya. Ntah mengapa, diingatkan seperti itu, hati Rora bergetar, ingin sekali dia menangis.
“Dan Islam mengajarkan kita untuk ber-akhlaqul karimah dan senantiasa ingat kepada-Nya..” begitulah sebagian ceramahnya,.
Fikirannya Rora kini ta’ diniat awal. Dia benar-benar mencermati ceramah dan El. Bahkan, seringkali ia meneteskan air mata. Dugusti... batin Rora.
5 menit... 30 menit dan lebih dan 3 jam sudah Rora disirami kata-kata halus El.”
“Sudahlah,
mbak... yang lalu biarlah berlalu dan mari sekarang kita mulal lembaran baru yang lebih berarti dan tentunya dengan niat yang tulus dan ikhlas, bukan karena paksaan...”
“sudah, mbak. Waktunya shalat Ashar. Ma’af saya harus adzan dulu...” El melanjutkan. Rora yang merasa “dipamiti”, dia balik pamit dan mengucapkan ma’af dan berterima kasih berulang-ulang. “Nggak pa-pa mbak, anggap saja ini sebuah hidayah dari-Nya, karena mbak telah menemukan jalan yang seharusnya mbak titi sejak awal. Tapi ingat mbak... niat dulu yang terpenting.” Ucap Rasyid menutup obrolannya. Baru ia hendak ke dalam. Rora memanggilnya. El menoleh. .‘maaf boleh, kapan-kapan saya kesini...” ucapnya gemetar, suaranya yang tadinya merdu kini agak “bindheng” akibat tangisannya tadi.
“Tentu, asal niat mbak baik...” Rora mengangguk.
“Terima kasih. Assalamu’alaikum...”
El menjawabnya sembari melangkah ke dalam masjid. Rora berjalan santai ke arah mobilnya. lamat-lamat ia dengarkan suara lembut El mengumandangkan adzan yang semakin membuat hati Rora bergetar hebat.
Ntah kenapa, sejak sore itu, Rora benar-benar jadi berubah. Ia meminta mama papanya mendatangkan El sebagai pengajar privat agama, karena ia benar-benar bertekad, bahwa ia ingin berubah. Karena ia merasa tenang setiap kali lafadz Allah di ucapakan dan memang itu yang pertama ia dengar. Bahkan lama-lama orangtuanya ikut-ikutan ngaji sorean dengan El.
Alhamdulillah, setelah kurang lebih satu bulan, Rora sekeluarga bisa benar-benar melaksanakan rukun-rukun Islam yang selama ini mereka abaikan. Bahkan, Rora memutuskan untuk menutup dan menjaga aurat dan kemolekan tubuh dengan menggunakan gaun muslimah. Itupun atas saran El.
“El saya benar-benar bahagia dengan apa yang saya rasakan ini. Bukan karena materi, tapi karena saya telah ada dijalan-Nya. Saya sangat bahagia..”
Ucap Rora suatu kali usai pengajian ninya.
“Alhamdulillah, mbak. Semoga Allah tetap menunjukkan hidayah-Nya kepada qita...”
Rora mengamini..
“Syid, mungkin kalau kamu mengingat kejadian pertama kita bertemu, q sangat malu Syid. Ternyata benar apa yang kamu katakan bahwa cinta karena luarnya saja tanpa mempertimbangkan dalamnya, hanya akan mengawali kegelapan hati dan ta’ kan abadi dan mungkin sebuah persahabatañ akan lebih halus dan segalanya.” Terang Rora sembari menerawang ke langit-langit luar.
El tersenyum “Ya mbak... dan itu akan berjalan mulus selama kita menjaga kuncinya yaitu kejujuran”. Tambah Rasyid.
Begitulah akhirnya, Rora ta’ jadi memikirkan niatnya dulu untuk menjadikan El sebagai sadaranya di waktu yang ta’ tepat.. dan sampai saat ini pertalian persahabatannya semakin membaik dan melahirkan Rora sebagai gadis jelita.
Bahkan Rora janji akan menyimpan dulu rasa sukanya pada El yang dari dulu ta’ pernah luntur, hingga waktu yang akan menjawab. Luar dalamnya... hanya 1 yang Rora ingat saat itu dia menuliskannya di tembok kamarnya...” Rora ♥ El: Di Masjid Hatiku terkait...”. 

nb : tulisan ini diikut sertakan dalam event ""elfrize"


CERPEN ISLAMI

SEMPAT MEMILIKI

Hamparan gedung-gedung mewah nan mencakar langit, gemerlap kerlap-kerlip lampu-lampu jalanan ibukota yang memperindah kota Jakarta, serta suara ricuh kendaraan bermotor yang tiada henti selalu menemaniku menghabiskan waktu istirahatku dimalam hari, setelah kesibukanku sebagai mahasiswa disalah satu Universitas ternama di Jakarta.
“Mengapa kita bertemu …………. Bila akhirnya dipisahkan……………”
Terdengar suara nada dering mp3 “Sempat Memiliki” yang pernah dibawakan grup band kesayanganku “Yovie n’ Nuno”. Segera kuambil handphoneku yang bermerkan “I Phone 35 S” diatas meja belajarku. Terlihat dilayarnya terdapat 12 digit nomer yang berbeda. Kupencet salah satu tombol dan ketiga tombol yang berada dibawah layar touchscreen.
“Assalamu’alaikum ya ukhti...” Terdengar suara seorang laki-laki mengucapkan salam.
“Wa’alaikumsalam ya akhi.. . Tumben telfon, ada apa?”
“Ukhti.. . Maaf sebelumnya, jadwal keberangkatan pesawat akhi maju. Nanti sore jam 5 akbi terbang menuju Mesir” ucapnya.
“Tapi akhi, bukankah harusnya 3 hari lagi?”
“Iya... Tapi jadwalnya memang diajukan.”
“Ya sudah akhi, nanti sore ukhti coba ke rumah akhi.”
“Sekali lagi maaf. . . Wassalamu’alaikum...”
“Wa’alaikumsalam”

Pukul 15.00
“Tok. .tok. .tok...” terdengar suara ketukan pintu dan arah pintu utama.
“Iya ada apa?” Tanyaku sambil membukakan pintu.
“Afif ? tumben kamu kesini? Tanyaku lagi.
“Em... iya maaf..Kamu nggak ke rumah Arif?”
“Rencananya sih sekarang. ehm... Kamu tunggu dulu diruang tamu. .. ayo masuk” ajakku.
Setelah aku mempersiapkan semuanya, aku dan Afif pergi ke rumah Arif. “Ayo... “ajak
Afif. Kulangkahkan kakiku keluar rumah. Lalu kumasuki sebuah mobil mercy warna silver berplat nomor B 2013 AS milikku.

Sampainya disana...
“Tok. .tok. .tok...” kuketuk pintu rumahnya dan muncullah seorang perempuan.
“Assalamu’alaikum mb.. . Arifiiya ada?” Tanya Afif.
“Eh mb Afif, mb Syifa. .. Wa’alaikumsalam. . . Den Arif ada kok. .masuk.”
“Terima kasih mb...” Akhirnya kami masuk ke rumah Arif dan duduk di ruang tamu. Tak lama kemudian, Arif keluar dan menghampiri kami.
“Syifa, Afif. . . Terima kasih kalian mau kesini.
“Sama-sama” jawab Afif. Tanpa terasa aku meneteskan air mata. dan. . “Syifa kamu kenapa?” Tanya Afif.
“Gak papa kok...” Jawabku sambil mengucap air mataku.”
“Jangan bohong. . . kamu gak rela aku pergi?” Tanya Arif.
“Bukannya begitu, tapi...”
“Udahlah.. . Maafin aku ya...” Pintanya.
“Ya. . . Em.. . Afif kamu bisa ninggalin kita gak. . . Bentar aja.”
“Ya. .. aku makiumi kok duluan ya... Assalamu’alaikum...” Ucapnya sambil membuka pintu dan keluar dan rumah Arif.
“Ukhti. . . Maaf. . . Em... k1 boleh tahu, ukhti kenapa gak ke Pondok Pesantren lagi? Malah, kuliah disini?” Tanyanya membuka percakapan. Aku tak menjawab pertanyaanya, tetapi aku hanya diam dan menggeleng-gelengkan kepala, tak jarang kuusap air mataku yang sesekali jatuh ke pipiku.
“Ya udah... diam donk... aku gak lama, hanya 2 tahun. Klo mau aku sih, selama aku di Mesir, kamu balik ke Pondok aja, biar kamu gak terlalu mikirin aku” Pintanya.
“Semua demi kamu. . . kamu tahu kenapa aku pulang ke Jakarta, padahal aku udah betah banget, pulang aja 1 tahun sekali, itu aja klo terpaksa. Tapi kemarin aku putusin tuk bohong demi kamu...” Ucapku dengan nada terbata-bata...
“Ya udah. .. yang penting kamu ikhlas aku pergi.
Percaya setelah studyku selesai aku langsung nikahin kamu. Pacaran 2 tahun bukan waktu yang singkat. Aku sayang banget ma kamu...” Ucapnya sambil memegang tanganku.
Tak terasa jam menunjuk ke arah angka 4. Aku dan Afif pun mengantarkan Arif hingga bandara.
“Aku pergi dulu ukhti. Sabar ya... ,Afif aku titip Syifa. Klo ada apa-apa...” Belum selesai Arif bicara, perkataannya lantas diputus oleh Afif.
“Insyaallah... Sorry klo gak bisa sempurna. Khan yang penting Syifa gak napa-napa Ok?”
Memang Afif adalah sahabat setiaku, sejak di Pondok 7 tahun lalu. Diapun rela hijrah ke Jakarta demi aku, padahal rumahnya Batam. Diapun juga suka bercanda. Aku senang sekali bisa punya sahabat seperti dia dan boyfriend seperti Arif.
Setelah kepergian Arif ke Mesir, aku lantas melanjutkan kuliahku tetap di Jakarta. Walaupun tidak di Pondok, tapi aku tetap akan setia menunggu Arif.
2 Tahun Kemudian ………..
“Assalamu’alaikum...” sapa seorang lelaki dari depan pintu.
“Wa’alaikumsalam.... Arif “ Teriakku tak percaya.
Segera saya bersalaman dengannya dan mengajaknya masuk.
“Ya Allah Arif ... Kamu...” Ucapku yang masih tak percaya bahwa itu adalah Arif.
“Jangan menangis... “Ucapnya seraya mengusap air mataku.
Hari-hari kami lewati dengan penuh kebahagiaan. Aku benar-benar senang Arif  bisa pulang ke Jakarta.
Namun suatu hari....
“Ukhti akhi mau bicara....”
“Ya, apa?”
“Sebelumnya maafin akhi, akhi mau pisah ma ukhti”
“Akhi gak lucu... Beneran dong.... Mau bicara apa?” Tanyaku
“beneran, akhi udah dijodohin sama kyai disana. Katanya Afifatuzakiyah Nur Septiani”
“Itu khan Afif...”
“Benar, kata kyai, cewek itu paling jodoh ma akhi, secepatnya akhi harus menikahinya, sebelum terlambat”
“Bohong.... Itu mungkin akal-akalan akhi biar bisa putus sama ukhti dan pindah ke Afif.”
“Demi Allah... bukannya akhi gak sayang lagi ma ukhti, tapi beneran Ucapnya sambil meneteskan air mata dan duduk dibawahku...
“Udah gak lucu...” lalu aku Iangsung berlari menuju kamar. Aku tak bisa membendung air mata ku lagi.
“Begitu gampangnya ia berkata seperti itu. Baru beberapa hari dia bersamaku dia tega berkata seperti itu?” Batinku kesal.
“Ukhti “ Panggilnya sambil membuka pintu kamarku.
“Maafkan aku... Tapi Demi Allah.. Itu semua bukan kemauanku”. Sesaat suasana hening, tiba-tiba mb Nina mengagetkanku.
“Neng Syifa... Ada telefon...” Entah mengapa rasanya aku ingin segera mengangkatnya. Aku pun berlari menuju ruang keluarga dan langsung menyahut gagang telefon yang sebelumnya dipegang mb.Nina.
“Assalamu’alaikum...” Salam seorang wanita yang sepertinya aku mengenali suaranya.
“Wa’alaikumsalam... Tante Riska?”
“Iya... ehm... Syifa kamu bisa gak sekarang juga pergi ke RSU Bakti Husada? Tante butuh banget...”
“Siapa yang sakit tante?” tanyaku penasaran.
“Nanti aja... Yang penting kamu kesini dulu...”
“Baiklah tante... Syifa usahakan...”
“Terima kasih ya. . Assalamu’alaikum...”
“Wa’ alaikumsalam...” Jawabku mengakhiri percakapan.
Segera kuambil tasku. Aku dan Arif pun langsung bergegas menuju rumah sakit.


Sesampainya disana
“Tante... siapa yang sakit? Tanyaku yang masih penasaran.
“Maafin tante. . Afif...” Ucapnya sambil menangis histeris.
“Afif kenapa tante?” Tanyaku yang masih penasaran. Tanpa berfikir panjang aku pun langsung melihat keruangan yang berada tepat disebelah kami lewat jendela, sementara Arif menenangkan tante Riska.
Terlibat tubuh Afif yang lemas yang tergeletak di tempat tidur.
“Tante.. . Afif sakit apa?” tanyaku histeris.
“Kanker otak stadium akhir”
“Apa? Kenapa Afif  tidak bilang kepadaku kalau dia punya penyakit?” Tanyaku tak percaya.
“Tante juga baru tahu. . . Maafkan tante.”
Kulangkahkan kakiku mendekati Arif.
                   “ Bisikku didekat telinganya.
“Maksud ukhti?”
Demi ukhti... Ukhti sudah ikhlas.. . Pliss... Sebelum terlambat.” Pintaku.
“Baiklah.”

Beberapa Hari Kemudian
“Apa? Afif  udah sadar?
Ucapku bahagia setelah diberitahu oleh Arif lewat via telefon, bahwa Afif sudah sadar setelah 3 hari koma.
Segera kulajukan mobilku ke Rumah Sakit tempat Afif dirawat.
Sesampainya disana, ternyata Arif sudah berada didekat Afif.
“Assalamu’alaikum...” Salamku sambil membuka pintu.
“Wa’alaikumsalam” Jawab mereka serentak. Terlihat wajah Afif sangat bahagia. “Kamu sudah cerita ke Afif? Tanyaku lirih.
“Udah... “Tanggapannya?”
“Dia mau asalkan kamu udah ikhlas.”
“Sepertinya Afif memang mencintai Arif”,
Ah... gak boleh suudzon” Batinku.

1 Minggu Kemudian Arif & Afif menikah. Entah mengapa hatiku masih belum bisa menerima kenyataan mi.
Setelah mereka menikah, mereka memutuskan untuk hijrah ke Bandung. Aku tak bisa menerima kenyataan begitu cepatnya Arif meninggalkanku. Tak tahu kenapa kurang lebih 1 tahun ini aku sering pingsan, hidungku sering mengeluarkan darah, dan rambutku sedikit demi sedikit rontok. Setelah aku periksakan ke dokter. Aku divonis kanker otak stadium akhir. Tak ada seorangpun yang mengetahui tentang penyakitku. Termasuk mb Nina, pembantuku. Mb Nina juga termasuk orang terdekatku. Karena mama dan papa kerja di Amerika.

2 Bulan Kemudian
“Tok. . . tok. . . tok” Terdengar seseorang mengetuk pintu. “Iya ada apa?” Tanyaku sambil membuka pintu.
“Apa?Afif. . . Arif... ?“ kagetku. Melihat Afif dan Arif datang kerumahku.
“Silakan masuk...” Ucapku sambil menggandeng Afif.
“hmm. . . BTW, apa kabar?” Sahut Arif membuka pembicaraan.
“Alhamdulillah baik-baik saja. Afif, perutmu gak kelihatan besar, gak lah Cuma bercanda.”
“Iya kamu do’ain aja cepet dikasih momongan,” Jawab Arif.
“Amien.”
“Ehm. klo boleh tahu apakah kamu benar sering sakit-sakitan?” Tanyanya sedikit ragu.
“Ka. .kamu tahu dan mana?”
“Ya klo mungkin be……..”  Belum selesai Arif bicara tiba-tiba Afif mengejutkan kami. tiba-tiba Afif lemas dan pingsan dipundak Arif.
“Afif...” Teriak kami serentak.
Memang dari tadi Afif terlihat pucat, pandangannya kabur, dan dari tadi dia hanya diam saja. Akhirnya kami memutuskan membawa Afif kerumah sakit. Aku tak tega melihat Afif seperti itu... Tiba-tiba saja kepalaku pusing, dan “Brokk...” Aku jatuh pingsan dipelukan Arif.
Beberapa Hari Kemudian
Saat kubuka mata kulihat ada Arif dan Mb. Nina disampingku.
“Arif,... Afif mana?” Tanyaku sedikit cemas.
“Afif baik-baik saja...” Jawabnya dengan nada sedikit berbeda. Lalu ia palingkan pandangannya dariku dengan membelakangiku. Aku tak mengerti apa maksudnya mengapa ia seperti itu?

Malam Harinya
“Ya Allah maafkan hamba, hamba mengaku belum ikhlas Arif bersama Afif, Tapi. . . Hamba juga sayang ma mereka, hamba tak mau menyakiti hati mereka.” Doaku saat aku teringat akan umurku. Kubuka selembar demi selembar buku harianku. Kusobek selembar kertas dari buku harianku. Kutulis sebuah surat tuk seseorang.





Dear : Arif Nur Haidayat

Sebelumnya maafin aku, Terima kasih sekali kamu mau menemaniku disisa hidupku. Terima kasih kamu mau menjadi orang yang paling aku sayangi. Bukannya aku gak sayang ma Ortuku, tapi aku juga baru tahu klo Ortuku udah meninggal 2 bulan lalu. Terima kasih sekali kamu mau jadi bagian hidupku. Setidaknya aku pernah mengenalmu dan memilikimu. Walaupun tidak untuk selamanya.
“Mengapa kita bertemu. . . Tapi akhirnya dipisahkan. . . Mengapa kita berjumpa. .. Tapi akhirnya dijauhkan... Kau bilang hatimu aku, nyatanya bukan untuk aku...
Bintang dilangit nan indah. . . Dimanakah cinta yang dulu... Masihkah aku disana. . . Direlung hati dan mimpimu. . . Kau bilang hatimu aku. . . Nyatanya bukan untuk aku...
Aku hancur. . . Kuterluka. . . Namun engkaulah nafasku. .. Kau cintaku. . . Meski aku. . Bukan dibenakmu lagi. .. Dan kuberuntung... Sempat Memilikimu...”

Maafin aku klo aku punya salah...

By Syifa Amalia Nur Rohmah

Lalu kulipat kertas itu dan ku masukkan ke dalam buku harianku.

Keesokan harinya
“Met pagi...” Ucapnya mengagetkanku, setelah membuka garden.
“Tau gak. .. Kamu udah boleh pulang...”
“Apa? Benar...” Setelah mendengar ucapan dan Arif. Diriku bagaikan sudah sembuh total...
“Bagaimana dengan. .. Afif?”
“Dia udah pulang duluan. .. “Ucapnya sedikit ragu.
“Eh. . . nich ada surat untukmu...”
Ucapku sambil memberikan selembar kertas kepadanya.
“Dan kamu?” Tanyanya seolah tak percaya. Tetapi aku tak menjawabnya hanya tersenyum kecil.
Sejenak ia terdiam lalu perlahan mendekatiku yang sedang asyik bermain game di hpku.
“Syifa... Aku mau jujur... Sebenamya. .. em...”
“Apa? Jangan bikin orang penasaran donk...”
“Em... “Gak lucu... cepet apa...”
“Afif. .. Afif udah meninggal. .. 3 hari lalu.”
“Hey... Jangan bercanda donk. .. gak lucu tau...”
“Benar. . . Demi Allah...” Ucapnya meyakinkanku. Matanya mulai berkaca-kaca. . . Menandakan ía benar-benar jujur padaku.
“Antarkan aku ruang mayat!!!”
“Ia udah dimakamkan... di Batam...”
Aku tak kuasa membendung air mataku. Tiba-tiba saja kepalaku merasa pusing, pandanganku mulai kabur...
Tiba-tiba aku berada diruangan putih, dan tak ada siapapun disana. . . Terlihat sesorang ingin menggandengku tuk pergi, tapi aku tahan karena aku mendengar suara Arif.
“Syifa... Syifa bangun Syifa...”
Semakin lama suara itu semakin menghilang dan aku hanya mampu mengucapkan
“Selamat Tinggal.. . Maafkan aku...”
Tiba-tiba orang yang tadi ingin menggandengku pergi lantas menyeretku dan aku pergi meninggalkan dunia ini tuk selama-lamanya.





The End